Minggu, 07 September 2014

CINTAKU BERUJUNG PADA PENGHIANATAN

CINTAKU BERUJUNG PADA PENGHIANATAN Suasana yang sangat sepi, bagaikan tidak ada lagi kehidupan, kini aku tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya, aku hanya bisa terbaring lemah tak berdaya diatas ranjang rumah sakit. Sudah hampir 2 minggu aku dirawat di rumah sakit ini, sedih rasanya bila harus menjalani hari-hari terakhirku di dalam rumah sakit ini, beberapa saat kemudian aku mendengar suara seseorang yang berjalan ke arahku, awalnya aku mengira kalau itu adalah suster yang merawatku, ternyata aku salah karena itu adalah suara jejak langkah kakinya Ima. Ima adalah salah satu sahabatku, dia memang sahabatku, tapi aku dan dia tidak begitu dekat, dan nggak biasanya Ima datang untuk membesukku “ hai ra, gimana keadan kamu sekarang?”, tanya Ima yang mengawali pembicaraan, “ aku udah agak baikan im, kamu kok tumben dtang kesini?”, tanyaku penasaran sekaligus heran, karena nggak biasanya Ima datang untuk membesukku, biasanya dia datang karena ada niat lain, “owh, kedatanganku kesini, aku Cuma mau bilang sama kamu kalau hari ini aku bahagia banget!, kamu tu kenapa?”, tanya Ima, aku hanya mengerutkan kedua alisku, “memangnya kenapa?”, tanyaku, “Argha ngajakin aku keluar besok pagi, aku jadi nggak sabar Ra!”, jelas Ima. Entah kenapa setelah mendengar penjelasan dari Ima hatiku menjadi sakit sekali, seharusnya aku bahagia karena bisa melihat sahabatku bahagia meskipun dia bahagia bersama orang yang aku cinta. Aku mencoba menepis semua perasaanku. Beberapa saat kemudian Eky datang dengan riya, pacar Eky, “ hai ra! Apa kabar?”, tanya Eky sambil meletakkan buah-buahan yang dia bawa di meja yang berada di samping ranjang tidurku, aku hanya tersenyum menahan kesedihanku, “ aku baik kok Ky”, jawabku sambil menarik nafas panjang, tapi sepertinya Eky bisa melihat kesedihan yang aku alami, “Ra, kamu nggak lagi bohongin aku kan?”, tanya Eky, “maksud kamu?”, tanyaku balik, “kamu pasti lagi bohongin aku, aku bisa membacanya dari mata kamu Ra!, sekarang kamu cerita sama aku, apa yang terjadi?”, tanya Eky, “Eky, aku nggak papa...”,jelasku “ Ra, kitakan sudah lama sahabatan, ngapain sih kamu pakek menyembunyikan suatu hal dari aku?”, tanya Eky, “bukan begitu Ky, aku nggak mau membebani kamu dengan masalah yang aku hadapi saat ini!”, jelasku, “kalau kamu nggak mau cerita sama aku,ok!nggak papa, tapi asal kamu tau, kalau kamu sendiri yang membuat diri kamu sakit! Ingat Ra, penyakit itu awalnya timbul dari fikiran, sekarang kamu cerita sama aku”, bujuk Eky, “baiklah kalau kamu memaksa, jujur aku sedih mendengar ucapan Ima tadi,” ucapku, “memangnya tadi Ima kesini? Dia bicara apa sama kamu?”, tanya Eky, sementara itu Riya hanya diam mendengar percakapanku dengan Eky, “besok Ima mau pergi sama Argha, dia...”, aku tak sanggup meneruskan kata-kataku saat itu, entah kenapa air mata ini menetes seakan-akan hati ini tak rela melihat Ima bersama Argha, “ok sekarang aku ngerti, kamu tenangin diri kamu dulu, aku mau ke kantin”, ucap Eky, Ekypun beranjak pergi meninggalkanku dan Riya. Dan tanpa aku sadari ternyata saat itu Eky embohongiku, dia tidak pergi ke kantin, melainkan dia pergi ke rumah Ima. Sesampainya di teras rumah Ima, Eky langsung mengetuk pintu, saat Ima membuka pintu, dia kelihatan begitu shock melihat kedatangan Eky, “Eky,ngapain kamu kesini?”, tanya Ima, dan tanpa basa-basi Eky langsung bicara pada pokok pembicaraannya, “Im, kamu itu keterlaluan banget sih!, kamu itu nggak punya hati!”, ucap Eky dengan wajah merahnya, “kamu ini apa-apaan sih ki, dtang-datang langsung marah-marah nggak jelas gini, maksud kamu apa bilang aku nggak punya hati?”, tanya Ima yang terpancing emosi, “kalau kamu memang punya hati, seharusnya kamu mengerti dimana letak kesalahan kamu”, bentak Eky, usai membentak Ima, Eky langsung cabut dan balik ke rumah sakit. Di dalam rumah sakit, aku begitu bingung, karena Eky nggak balik-balik, akhirnya aku meminta tolong sama Riya untuk menyusul Eky ke kantin, “Ri, boleh nggak aku minta tolong sama kamu?”, tanyaku sama Riya, “boleh, apa yang bisa aku bantu?”, tanya Riya, “tolong susul Eky ya, soalnya ini udah 1 jam lebih dia belum balik kesini” jelasku, “oo..baiklah, kamu tunggu sebentar ya!”, ucap Riya dengan senyum manisnya. Ketika Riya menyusul Eky ke kantin, ku tulis semua masalahku dalam buku harian pemberian dari Argha sebagai kado ulang tahunku tahun lalu “dear diary Meski hati dan perasaan ini sakit, tapi aku berusaha untuk tetap bahagia melihatmu bersama orang yang aku cinta.Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang Aku tersenyum, itu caraku menghiasi luka . Aku tertawa , itu caraku untuk sembunyi Kini terakhir kumengenalmu, kini terakhirku menyapamu, bila nanti kau ingin kembali, tunggu .... Sampai aku mati ...” Usai menulisnya, entah kenapa kepalaku semakin sakit, sementara itu Eky dan Riya belum kembali, aku berusaha mengambil air yang ada di sampingku, tapi aku tak bisa, tubuhku semakin rapuh dan gelas itu terjatuh dan mungkin saat itu juga aku pingsan. Riya yang mendengar suara gelas yang jatuh segera menuju ke kamarku dan menelfon Eky yang sampai saat itu belum kembali, Riya sendiri tidak tahu dimana Eky, karena Eky nggak ada di kantin, usai menelfon Eky, Riyapun segera menghubungi keluargaku. Beberapa saat kemudian Eky datang, “Vira kenapa? Kenapa dia sampai seperti ini?”, tanya Eky, “aku sendiri nggak tahu, tadi Vira nyuruh aku nyari kamu ke kantin, tapi kamu nggak ada, dan waktu aku kembali, Vira sudah nggak sadar”, jelas Riya. Sementara itu keluargaku sangat histeris melihat kondisiku, termasuk ayahku, “Vira! Bangun sayang! Ayah ada disini, lihat ayah bawa apa? Ayah bawa boneka kesukaan Vira, bangun sayang!!”, suara ayah yang menangisi keadaanku, kak Tara berusaha untuk menenangkan ayah. Saat itu aku masih bisa mendengar ucapan mereka, tapi sulit buatku untuk membuka mataku. Sementara itu Eky yang masih belum bisa menerima pengkhianatan yang dilakukan Ima kepadaku dan membuatku menjadi lemah tak sadarkan diri di rumah sakit, saat itu juga Eky pamit untuk keluar, ternyata dia kembali ke rumah Ima dan membuntuti Ima yang keluar dengan Argha. Ketika Ima dan Argha sampai di taman kota, Eky segera turun dari motornya dan menghampiri Ima dan Argha, “oo...jadi ini yang kamu lakukan saat sahabatmu yang begitu menyayangimu terbaring lemah tak berdaya di rumah sakit, aku nggak nyangka, ternyata sebusuk ini hati kamu!”, ucap Eky pada Ima, “tunggu!! Apa-apaan ini? Kenapa kamu bilang begitu?”, tanya Argha yang tidak mengerti dengan maksud Eky, “Gha, asal kamu tahu, gara-gara kamu dan Ima, Vira orang yang sangat menyayangi kamu kini harus menghadapi dua pilihan yang sangat sulit, dia berada antara hidup dan mati, Vira koma, gha kamu itu cowok, seharusnya kamu bisa mengerti dan menjaga perasaan cewek, tapi ternyata kamu ... aku nggak habis fikir, kenapa cewek sebaik dan setulus Vira harus mencintai cowok yang nggak ngehargai perasaan orang lain seperti kamu”, ucap Eky “Vira mencintaiku?”, tanya Argha yang tak percaya, sementara itu Eky kembali menatap Ima, “kamu juga, hati kamu itu terbuat dari apa sih? Selama ini kamu sudah tahu kalau Vira mencintai Argha, tapi kenapa kamu selalu menghalangi cinta Vira? Salah Vira ke kamu itu apa? Kenapa kamu tega mengkhianati sahabat kamu sendiri? Sadar Im.. sadar!, kelakuan kamu itu sudah di luar batas!”, ucap Eky yang berusaha menyadarkan Ima. Di dalam rumah sakit, kondisiku semakin drop, semua keluarga dan sahabatku sudah kumpul, kecuali Eky, akhirnya perjalanan hidup Vira telah berakhir, dia pergi pada pukul 15.08 WIB, isak tangis mulai terdengar, ribuan air mata jatuh membasahi jasad Vira. Sementara itu Riya pamit keluar untuk menelfon Eky, “hallo..”, Riya tak sanggup untuk berbicara, ia hanya bisa menangis, “hallo Riya, ada apa? Kenapa kamu menangis? Apa yang telah terjadi?”, tanya Eky khawatir, “Vira...Vira udah nggak ada...”, ucap Riya, “apa..??”, tanya Eky yang nggak percaya, seketika itu tubuh Eky lemas, handphone yang di pegangnya telah jatuh, Ima dan Argha semakin penasaran, “Eky, ada apa?, kamu kenapa?”, tanya Ima, “Vira udah pergi...Vira udah ninggalin kita...”, jelas Eky, “tuhan...secepat ini engkau mengambil sahabatku, kenapa harus Vira? Kenapa tuhan?”, Eky tak kuasa menahan tangisnya. Setelah Eky tenang, mereka bertiga segera menuju ke rumah sakit. Belum sampai mereka memasuki kamar inap Vira, Eky berteriak histeris memanggil nama Vira, “Vira....kamu nggak boleh pergi, Vira bangun!”, teriak Eky yang membuat suasana duka semakin terasa, dan saat itu juga Ima sadar, bahwa dia telah salah, ia pun segera mendekati jenazah Vira, “Vira...maafin aku, maaf kalau selama ini aku sudah mengkhianatimu, maafin aku!”, ucap Ima dengan penuh penyesalan, Argha berusaha menenangkan Ima, “sudahlah, kita harus mengikhlaskan Vira, nggak baik berlarut-larut dalam kesedihan”, ucap Argha. Beberapa saat kemudian kak tara datang mendekati Ima, “Im, tadi sebelum Vira pergi, dia sempat berpesan sama kakak, dia menyuruh kakak untuk menyampaikannya kepada kamu, pesannya adalah “Aku ikhlas kalau kamu mengkhianati cintaku, aku harap kamu tak melakukannya kepada orang lain, cukup aku saja! Selamat tinggal kawan, kenanglah aku walau untuk sekejap Hanya kebaikanmu yang selalu membuatku kuat sahabat, aku akan selalu mengingatmu walau kita berjauhan. Tiada kata yang indah untuk sahabatku kecuali ucapan terimakasih yang tulus dari dalam hati atas kebaikanmu selama ini, selamat tinggal kawan. Kenanglah selalu saat ini kawan, dimana kita pernah mengukir hari-hari yang indah.” Usai mendengar pesan Vira yang dititipkan kepada kakaknya, akhirnya Ima dan Argha memutuskan untuk tidak menjalin hubungan. Kini hubungan Argha dan Ima tak lebih hanyalah sebagai sahabat dan Imapun berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal yang sama kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar