Senin, 08 September 2014

TAKDIR UNTUKKU

TAKDIR UNTUKKU Aku menyandarkan punggungku di dinding kamar, sambil memeluk guling, pandanganku menerawang, air mataku menetes satu demi satu menganak sungai. Keputusanku yang mulai merayapi hatiku, ku rasakan begitu menyakitkan, “ya Allah, bukannya aku menggugatmu, tapi aku lelah dengan semua ini”. Jantung, kelainan syaraf, dan masih banyak lagi daftar riwayat penyakitku. Beragam jenis obat telah rutin ku minum, dan menjadi konsumsiku, kunjungan ke berbagai dokter spesialis, dari spesialis penyakit dalam sampai spesialis penyakit luar, seakan sudah menjadi bagian dari irama hidupku. Rumah sakit ku anggap sebagai rumah keduaku. Aku sadar, semua yang ku alami ini akibat dari kesalahanku sendiri, tapi apakah ini semua tidak bisa berakhir ya Allah? aku sering menyiksa diri dengan tidak makan berhari – hari, terus melamun dan kehilangan gairah hidup, ”sejak kecil aku sudah menderita sakit, dan sekarang semuanya semakin menjadi-jadi, apakah ini akibat kesalahanku ya Allah?”. Segala obat dari dokter sudah rutin ku minum, sampai-sampai membuatku bosan, jamu tradisionalpun tidak kehitung lagi banyaknya. Dampaknya, jantungku pun melemah. Jika penyakitku kambuh, ibu sering menangis, dan memelukku, kesabaran memang mudah di ucapkan, tapi berat untuk dilaksanakan. Aku sudah berusaha tegar dan sabar, namun sakit yang silih berganti menghantamku sejak aku kelas 6 SD, agaknya secara bertahap telah menggerogoti pertahanannya. Aku seperti mayat hidup, aku hidup tapi tidak bisa memberikan manfaat kepada orang lain, malah selalu menyusahkan. Kalau Dokter saja sudah melarangku untuk mikir serius, manusia nggak mikir? apa bedanya dengan hewan? apa yang bisa kulakukan? aku takut keburu mati, aku ingin menebus dosa-dosa yang banyaknya melebihi benih yang ada di lautan. Tapi apakah aku bisa? dengan kondisiku yang seperti ini? Tapi sakit ini adalah rem otomatis yang di berikan Allah agar aku senantiasa ingat bahwa tanpa-Nya aku tak ada artinya. Jika jantung ini mulai lemah berdetak, aku segera sadar, bahwa kapan saja detak jantung ini bisa berhenti, aku harus siap-siap. Sejak itu aku sadar bahwa aku punya penyakit yang membahayakan nyawaku sendiri, aku selalu sabar dan tawakkal dan mungkin ini adalah takdir untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar