Kamis, 29 Desember 2016

INGINKU BERSAMAMU



INGINKU BERSAMAMU
 
Terdiam merenung sendiri, dengan bersenandung rindu. Terbayang perjalanan waktu, sebuah kisah masa lalu yang takkan mungkin bisa kulupakan. Kak Toni, sebuah nama yang mungkin tak bisa kulupa sampai kapanpun. Dia adalah sosok kakak yang sangat menyayangiku di bandingkan dengan kedua orang tua kandungku. Hampir 3 tahun aku hidup sendiri, dan selama itulah aku tidak pernah melihat wajah kakakku ataupun kedua orang tuaku, aku memutuskan untuk pergi dari rumah di bandingkan harus tinggal dengan orang-orang yang tak pernah menganggapku ada, kecuali kakakku.
Aku mencoba untuk hidup mandiri, saat itu aku memutuskan pergi dari rumah dan tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Meskipun disini aku tak mengenal siapapun, tetapi penduduk di desa ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kedua orang tuaku. Selama 3 tahun bekerja sebagai relawan yang mau membantu proses belajar mengajar di sekolah sekitar desa tersebut. Aku tidak tau apakah selama 3 tahun ini keluargaku mencariku atau tidak, kalaupun mereka mencariku, mereka tidak mungkin mencari sampai ke pelosok desa seperti tempat ini, meskipun mereka membenciku, tapi tidak tau kenapa aku tidak bisa membeci mereka, aku sangat menyayangi mereka.
Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke Bandung, bukannya aku ingin kembali ke rumah kedua orang tuaku, tapi tujuan utamaku pergi ke Bandung adalah untuk melihat kak Toni, meskipun tidak bisa bertemu secara langsung. Haripun semakin sore, tapi aku masih belum bisa melihat atau bertemu dengan kak Toni. Karena terlalu lelah, aku memutuskan untuk istirahat sejenak di depan kedai kopi, dan aku melihat wajah kak Toni di televisi, aku senang bisa melihat kakakku, tapi wajah kak Toni berbeda dari kak Toni yang dulu, ia nampak kurus dan tak bersemangat. Sambil menunggu pesanan kopiku, aku melihat kakakku yang di dampingi teman-temannya untuk bicara di suatu berita,
“mohon perhatiannya sebentar, bagi kalian semua yang tau atau mengetahui keberadaan adik saya, saya mohon segera kabari saya, sudah 3 tahun dia menghilang, jadi buat teman-teman semuanya, kalau anda bertemu atau melihat adik saya, tolong segera kabari saya”, ucap kak Toni sambil menunjukkan fotoku
Aku melihat kesedihan di matanya, dan aku paling tidak bisa melihat kakakku bersedih apalagi menangis, tanpa menunggu pesananku, aku segera pergi dari kedai itu, dan tanpa aku sadari ternyata ada seseorang yang menfotoku dan mengirimnya ke kak Toni.
Haripun semakin malam, udara semakin dingin, aku memutuskan untuk terus berjalan, aku nggak tau harus pergi kemana, aku hanya mengikuti langkah kakiku. Beberapa saat kemudian langkahku terhenti oleh sebuah mobil mewah di depanku, saat pengendara mobil itu turun dari mobil mewahnya, ternyata dia adalah kak Toni, aku sangat terkejut melihat kak Toni yang ada di depanku,
“adek….!”, ucap kak Toni lirih, seakan-akan dia mengalami luka batin yang dalam
Kak  Toni segera melangkah menuju ke tempatku berdiri dan memelukku, sementara itu aku tak bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa menangis,
“dek, kita pulang yuk! Kakak kangen sama adek!”, ucap kak Toni,
“nggak kak, aku nggak bisa ikut kakak pulang, aku nggak pantas tinggal dirumah kakak!”, ucapku,
“kenapa? Rumah itukan rumah kamu juga!”, jawab kak Toni,
Akupun membalas pelukan kakakku yang selama ini kurindukan, dan ternyata dugaanku benar, kak Toni semakin kurus, mungkin kak Toni selalu mikirin keberadaanku selama ini. Tiba-tiba langit menumpahkan air matanya, hujan begitu deras, hingga membuatku begitu kedinginan, dan kak Toni pun segera membawaku masuk ke dalam mobil untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, kakiku masih terasa berat untuk masuk ke dalam rumah itu, tapi kak Toni memaksaku untuk tetap masuk. Ketika aku selesai mengeringkan badanku, tiba-tiba mama masuk ke kamarku,
“wow, bagus ya, sudah berani kamu kembali ke rumah ini! Kemana saja kamu selama ini?”, tanya mama,
“aku…aku…”, tiba-tiba kak Toni masuk dan membelaku,
“mama ini kenapa sih? Virda kan juga anak mama? Kalau memang mama nggak suka Virda balik ke rumah ini, biar Toni dan Virda pergi saja!”, ucap kak Toni,
Mama memang sangat menyayangi kak Toni, sehingga dia nggak mau jika kak Toni pergi, mamapun mengizinkanku untuk tetap tinggal di rumah ini,
“baiklah kalau begitu, dia boleh tinggal disini!”, ucap mama sambil meninggalkanku dan kak Toni. Aku menangis di pelukan kakakku.
Keesokan harinya kak Toni mengajakku ke tempat kerjanya dan memperkenalkanku kepada teman-temannya, dan semua teman-teman kak Toni begitu baik padaku,
“hai Virda….kamu itu nggak jauh beda ya sama Toni, sama-sama murah senyum”, ucap kak Yoga,
“namanya juga saudara, ya jelas sama lah! Iya kan Vir?”, tambah kak Kevin,
“sudah-sudah, mentang-mentang adikku cewek, kalian malah godain terus!”, ucap kak Toni.
Saat itu kami tertawa lepas, sampai-sampai lupa kalau harus bekerja. Akhirnya mereka semua melanjutkan aktivitasnya untuk bekerja. Saat istirahat, kak Kevin dan kak Yoga mengajak kak Toni untuk makan,
“Toni, makan yuk! Kamu kan belum makan?”, ajak kak Kevin,
“tau nih Toni, jarang banget makannya, sekarang badan kamu tambah kurus tuh, gimana nggak mau sakit? Pola makan kamu aja nggak kamu jaga!”, ucap kak Yoga,
“jadi, selama ini kak Toni sakit-sakitan ya kak?”, tanyaku memperjelas,
“ iya jadi semenjak kamu menghilang, kakak kamu nggak mau makan dengan teratur, makanya sekarang tambah kurus dan sering sakit”, jawab kak Yoga,
“kalau gitu sekarang kakak makan gih, biar nggak sakit, kalau kakak nggak mau makan, Virda pergi nih”, ancamku pada kak Toni,
“baiklah, kakak makan deh, tapi adek juga ikut makan ya!ok!”, ucap kak Toni,
Mau nggak mau aku harus menuruti kemauan kakakku, karena aku nggak mau melihat kakakku sakit. Akhirnya aku, kak Yoga, kak Kevin dan kak Toni pergi keluar untuk makan, dan beberapa saat kemudian kak Gali, kak Deni, kak Hendra, dan kak Aji menyusul. Mereka adalah teman kak Toni.
Sambil menunggu pesanan, tiba-tiba kak Deni angkat bicara,
“Vir, waktu kamu pergi kamu tinggal dimana dan sama siapa?”, tanya kak Deni,
aku pun menceritakan semuanya, bahwa selama 3 tahun aku merantau dan bekerja sebagai relawan untuk menyambung hidup.
“kamu hebat ya, kamu bisa hidup mandiri selama 3 tahun, aku salut sama kamu”, ucap kak Kevin,
Dan saat itu sambil makan siang, kami semua bertukar cerita satu sama lain. Sementara itu kak Kevin terus memandangiku,
“Vin, kamu kenapa? Kok liatin Virda sampek segitunya?”, tanya kak Gali,
“nggak papa, aku kagum aja liat adeknya Toni, dia tegar banget!”, jawab kak Kevin,
“kagum apa kagum?”, goda kak Aji,
“iya beneran aku cuma kagum!” jawab kak Kevin,
“kalau memang cuma kagum, kok pipi kamu merah gitu?”, goda kak Hendra,
“udah-udah, sekarang kita balik kerja, gak ada yang boleh ganggu adekku!”, ucap kak Toni. Akhirnya kami semua kembali ke tempat kerja kak Toni.
Hampir 1 tahun aku kembali dan tinggal di rumah mama dan papa dan juga kak Toni, dan saat itu juga aku memutuskan untuk meneruskan kuliahku yang sempat tertunda. Aku pun mencoba mendaftarkan diri ke sebuah universitas negeri yang ada di Bandung, dan beberapa hari setelah tes, aku dinyatakan di terima di universitas tersebut. Kini aku mempunyai rutinitas baru, yaitu kuliah setiap hari, karena jadwal kuliahku terlalu padat, sudah hampir 2 bulan lebih aku nggak bisa menemani kak Toni untuk ngobrol bareng teman-teman kak Toni, sehingga banyak teman-teman kak Toni yang menanyakanku, salah satunya adalah kak Kevin,
“Toni, sudah lama aku nggak lihat Virda, memangnya dia kemana? Apa dia kabur lagi?”, tanya kak Kevin,
“kamu ini apa-apaan sih? Siapa juga yang kabur, Virda sekarang itu lagi sibuk menuntut ilmu, dia harus nerusin kuliahnya yang sempat terbengkalai dulu!”, jelas kak Toni,
“oh…jadi sekarang Virda kuliah? Pantesan nggak pernah ketemu!”, sahut kak Gali,
“kalau gitu besok aku mau main ke rumah kamu, aku kangen sama Virda adek kamu!”, ucap kak Kevin,
“kalau gitu aku juga ikut, gimana kalau kita ajak teman-teman kita ke rumah kamu? Pasti mereka juga kangen sama Virda!”, tambah kak Gali,
“wahh….ide bagus tuh, ya udah nanti aku kabarin semuanya!”, ucap kak Kevin,
“ok, terserah kalian deh! Aku mau makan dulu, mau ikut nggak?”, tanya kak Toni,
“kalau makan gratis, kita ikut, tapi kalau nggak, ya maaf, kita nggak bisa ikut!”, ucap kak Kevin, “tenang aja! Gratis kok!”, jawab kak Toni,
“ yaudah, tunggu apa lagi, ayo!!”, ucap kak Gali.
Keesokan harinya, ketika ku buka tirai jendela kamarku, aku melihat banyak mobil dan juga motor di depan rumahku, dan beberapa saat kemudian aku mendengar suara ketukan di depan pintu rumahku, kak Toni yang saat itu masih mandi, menyuruhku untuk segera membukanya, karena saat itu mama dan papa sudah berangkat ke kantor, aku segera turun dari kamarku dan membuka pintu rumah, ketika aku membuka pintu itu, ternyata yang datang adalah teman-teman kak Toni,
“surprice!!!!”, ucap kak Kevin dan teman-temannya,
Akupun mempersilahkan mereka untuk masuk,
“sebetar ya, aku mau ke dapur dulu, aku mau ambil minuman dulu”, ucapku,
Akupun segera pergi ke dapur dan segera ku buatkan minuman untuk mereka semua. Sebelum aku menyuguhkan minuman untuk mereka, aku memutuskan untuk memanggil Kak Toni yang saat itu masih ada di kamarnya,
“kakak….ada tamu tuh!”, ucapku,
“siapa?”, tanya kak Toni,
“siapa lagi kalau bukan teman-teman kakak, atau jangan-jangan kakak ini mau ngerjain aku ya?”, tanyaku,
“oh, jadi mereka sudah datang, sekarang cepat buatin mereka minum dan antarkan minumannya, dan bilangin ke mereka, sebentar lagi kakak turun!”, ucap kak Toni.
Akupun segera memberikan minumannya dan berbincang-bincang dengan mereka. Beberapa saat kemudian kak Toni turun dan ikut nimbrung, rasanya hilang sudah semua masalah.
“Vir, sibuk ya? Kok nggak pernah ikut kakak kamu ke tempat kerjanya?”, tanya kak Deni,
“iya kak, maaf, aku lupa nggak ngasih kabar ke kalian semua, kalau sebenarnya sekarang aku sudah mulai nerusin kuliahku yang sempat terbengkalai waktu itu, jadi aku nggak ada waktu deh buat nemenin kak Toni, lagi pula semenjak aku terpilih menjadi ketua di organisasi kampusku, aku jadi tambah nggak ada waktu buat main-main, soalnya aku harus focus pada tugasku”, jelasku,
“wah…kamu hebat ya!”, ucap kak Yoga,
“oiya, kamu di tunggu Gali di taman rumah, katanya ada yang mau dia bicarain sama kamu, mendingan sekarang kamu temuin dia gih!”, ucap kak Yoga,
“baiklah, kalau gitu aku temuin kak Gali dulu ya kak!”, pamitku pada semuanya.
 Akupun segera keluar menemui kak Gali.
Saat di taman, aku tak menemukan kak Gali, Aku pun terus mencari kak Gali di taman, tapi nggak ada orang disana. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara kak Gali memangilku,
“Virda, sini…aku mau bicara sama kamu”, akupun segera menemui kak Gali yang berada di taman koleksi bunga milik mama,
“ada apa kak?”, tanyaku,
“aku mau bicara sesuatu sama kamu!”, jawab kak Gali,
“bicara apa? Memangnya nggak bisa dibicarakan di dalam?”, tanyaku,
“nggak bisa, karena ini pribadi”, jawab kak Gali,
“oh, yaudah bicara aja!”, kataku
“Vir, bila mungkin sekarang aku merasakan betapa aku semakin mencintaimu, itu bukan berarti gombal ataupu berlebihan, karena tak bisa ku pungkiri itulah yang sebenarnya”, ucap kak Gali, “maksudnya???”, tanyaku bingung,
“aku mencintai kamu Vir, maukah kamu menjadi kekasihku?”, tanya kak Gali,
“sebelumnya aku minta maaf, bukannya aku nggak mau menerima cinta kakak, tapi apakah kak Gali mau menjalin hubungan dengan ku, sementara itu kita jarang ketemu, karena kesibukanku dengan kuliahku! Jujur saja, sebenarnya aku juga cinta dengan kakak, tapi masalahnya ya cuma itu tadi, sekarang aku mau tanya, apakah kakak mau menjalin hubungan denganku yang bisa dibilang mulai susah untuk bertemu?”, tanyaku balik,
“iya aku mau Vir, apakah ini berarti kamu sekarang sudah terima cintaku?”, tanya kak Gali, dan aku hanya menganggukkan kepalaku, kini kebahagiaan tengah terpancar di wajah kami.
Saat kembali ke dalam rumah, dan memberi kabar kepada semuanya bahwa aku sudah jadian dengan kak Gali, tiba-tiba kak Kevin pergi begitu saja, sementara itu aku nggak tau letak kesalahanku,
“kak Kevin, tunggu!!”, teriakku,
“kenapa kakak pergi? Ada apa kak?”, tanyaku ke kak Kevin,
“nggak ada apa-apa, aku cuma pengen pulang” jawab kak Kevin dengan nada cueknya,
Ia pun pergi meninggalkanku dan teman-teman yang lain. Beberapa saat kemudian haripun mulai sore, satu per satu teman kak Toni pulang, hingga tak tersisa seorang pun. Ketika semua teman kak Toni pulang, aku mengajak kak Toni untuk bicara,
“kak, sebenarnya ada apa sih?”, tanyaku bingung,
“nggak tau, tanya aja sama diri kamu sendiri”, jawab kak Toni cuek.
Aku nggak tau apakah aku salah karena sudah jadian dengan kak Gali. Dan semenjak aku jadian dengannya, perhatian kak Toni ke aku mulai berkurang.
1 tahun 8 bulan 29 hari, aku menjalani hubungan dengan kak Gali. Dan selama itu pula aku kehilangan perhatian dari kakakku dan kak Kevin. Sampai disuatu ketika aku di utus oleh kampusku untuk mengikuti perlombaan Jurnalistik ke Madiun, dan hari itu juga aku harus berangkat. Sebelum aku berangkat, aku meminta izin kepada dosenku agar memberiku sedikit keringanan untuk berpamitan kepada kakakku. Malam itu juga aku langsung menuju ke tempat kakakku bekerja. Sesampainya disana, aku melihat kak Toni yang sedang duduk bersama kak Yoga dan kak Kevin, tapi sepertinya kak Toni tidak menginginkan kehadiranku. Setelah kak Toni tahu kalau aku ada di tempat kerjanya, dia berusaha menghindar dariku, akupun segera mengejarnya,
“kakak….tunggu!”, teriakku yang menghentikan langkah kaki kak Toni,
“ada apa? Kamu nggak tau apa, kalau kakak lagi sibuk?”, ucap kak Toni dengan nada yang cuek, “iya aku tau, tapi aku mau bicara sedikit sama kakak”, kataku,
“maaf, kakak nggak punya waktu, kakak banyak kerjaan”,  ucap kak Toni sambil pergi meninggalkanku,
Air mata mulai tergenang di pelupuk mataku,
“tapi ini penting kak!”, teriakku,
Tapi teriakanku tetap tidak bisa menghentikan langkah kaki kak Toni,
“segitu marahnya kakak sama aku, sampai-sampai kakak nggak mendengar penjelasanku, aku kesini hanya ingin minta restu dari kakak, karena aku harus mengikuti lomba jurnalistik di Madiun, maafkan aku kak!”, ucapku dalam hati.
 Akupun segera pergi dari lokasi dan segera kembali ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan. Tapi sebelum keretaku berangkat, aku memutuskan untuk menelfon kak Toni, tapi handphonenya tidak aktif, akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan ke kak Gali untuk menyampaikannya kepada kak Toni.
To : kak Gali
From : Virda Diandra
Kak, aku minta tolong ya, tolong sampaikan kepada kak Toni kalau aku harus pergi ke Madiun untuk mengikuti perlombaan disana, tadi aku sudah mencoba menelfon kak Toni, tapi Hpnya tidak aktif, maka dari itu aku meminta tolong sama kakak, tolong sampaikan pesanku ini ke kak Toni.
Setelah pesan terkirim, aku segera mematikan Hpku, dan akupun berangkat ke Madiun saat itu juga. Tapi karena perasaanku nggak enak, dan dosenku mendapat telfon dari panitia bahwa perlombaan harus di cancel untuk beberapa minggu ini. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak pulang, dan tetap pergi mencari tempat untuk menenangkan hati dan fikiran, dan aku memutuskan untuk pergi ke kota Bogor.
            Beberapa saat kemudian, aku mendengar kabar bahwa kereta yang seharusnya aku tumpangi tadi mengalami kecelakaan, dan dipastikan bahwa tidak ada korban yang selamat dalam kecelakaan tersebut. Aku menghela nafas dan bersyukur karena aku tidak jadi berangkat hari ini, andaikan aku di berangkatkan hari ini, mungkin saat ini aku sudah nggak ada lagi. Tapi lain dengan diriku, kak Toni yang tidak tahu kalau perlombaanku di cancel terlihat sangat shok karena mendengar berita ini, dia mengira aku berada di kereta itu. Saat itu kak Toni sedang berada di ruang meeting bersama kak Aji, dan beberapa saat kemudian, asisten kak Toni memangil kak Toni,
“mas Toni…mas Toni…!!”, teriak kak Ferdy, asisten kakak,
“ada apa? Kenapa kamu teriak-teriak seperti itu?”, tanya kak Toni,
“itu lo mas….” Kak Ferdy nggak sanggup meneruskan kata-katanya,
“kamu minum dulu dan ceritakan apa yang terjadi”, ucap kak Toni
Kak Ferdy pun segera menghabiskan segelas air putih yang diberikak kak Toni
“ sekarang kamu cerita, ada apa?”, tanya kak Toni pada asistennya dengan nada yang bingung, “gini mas, kereta yang di tumpangi adik mas Toni mengalami kecelakaan, dan mereka semua memastikan bahwa tidak ada korban yang selamat, karena kereta tersebut terbakar dan meledak”, jelas kak Ferdy.
 Setelah mendengar penjelasan itu, tubuh kak Toni menjadi lemas dan tak sadarkan diri. Semua teman-teman kak Toni masih tak percaya dengan kejadian ini, kak Kevin mencoba menghubungiku, tapi hpku nggak aktif, aku memang sengaja tidak mengaktifkan kartu SIM-ku, karena di Bogor tidak ada sinyal sama sekali, dan akhirnya aku memutuskan untuk ganti kartu SIM, dan aku lupa tidak mengabari kak Toni dan teman-temannya. Saat itu kak Toni dan teman-temannya mengira kalau aku sudah nggak ada, karena aku menjadi salah satu korban kecelakaan kereta tersebut. Tahlilan pun digelar setiap hari dirumahku.
            Suatu malam, aku memutuskan untuk kembali pulang, karena aku merasa sudah mulai sedikit tenang. Saat di perjalanan pulang aku mencoba untuk menghubungi kak Toni, tapi nomornya tetap nggak aktif, dan aku memutuskan untuk tetap pulang, ketika aku sampai di depan rumah, rumah itu tampak begitu sepi, seperti nggak ada yang menghuni. Dan ketika aku mencoba mengetuk pintunya, ternyata tidak ada jawaban sama sekali. Saat itu aku mulai bingung, kemana aku harus mencari kakakku, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke tempat kerja kak Toni. Sesampainya di lokasi, semua orang tampak heran dan takut ketika melihatku, tapi aku tak menghiraukannya, aku terus mencari kak Toni, hingga aku menemukannya di dalam ruangannya, aku melihat kak Toni sedang membaca al quran, akupun mengetuk pintunya. Ketika kak Toni melihatku, dia seperti melihat hantu, wajahnya begitu ketakutan,
“kak…kakak kenapa?”, tanyaku,
“kamu siapa?”, tanya kak Toni balik,
“aku Virda, adik kakak, kakak kenapa?”, tanyaku lagi,
“kamu nggak mungkin Virda, adikku sudah meninggal dalam kecelakaan kereta jurusan Madiun, kamu siapa?”, tanya kak Toni lagi,
“ini aku Virda kak, aku belum meninggal”,
Belum sempat aku menjelaskannya, tiba-tiba kak Toni teriak meminta tolong, sehingga membuat semua orang kumpul menjadi satu dalam satu ruangan, wajah mereka nggak jauh berbeda dari wajah kak Toni, mereka terlihat ketakutan,
“kamu siapa?”, tanya kak Kevin,
“kak, ini aku Virda” jawabku,
“nggak mungkin, Virda sudah nggak ada, kalau memang kamu Virda, tolong jangan ganggu kami, kami sudah memaafkan semua salah kamu”, ucap kak Kevin,
“kalian ini kenapa sih? Ini aku Virda Diandra, dan aku masih hidup, kalau kalian nggak percaya kalian bisa lihat kedua kakiku masih napak di tanah kan? Dan kalau kalian masih belum percaya, majulah, sentuh aku!” ucapku,
Tiba-tiba kak Gali maju dan menyentuh kedua tanganku, dan barulah saat itu kak Gali percaya kalau aku masih hidup,
“Virda…ini beneran kamu! Ternyata kamu masih hidup, kak Toni, ini Virda, dia belum meninggal kak, dia masih hidup, kalau kalian semua nggak percaya kalian boleh maju dan sentuhlah kedua tangan Virda”, ucap kak Gali sambil memelukku,
“aku kangen sama kamu Vir!”, ucapnya.
Setelah semua menyentuh kedua tanganku, barulah mereka semua percaya bahwa aku masih hidup.
            Memang masih ada keraguan di hati mereka tentangku, akupun segera menceritakan kronologis kejadiannya, dan barulah saat itu mereka semua percaya 100 % kalau aku memang masih hidup,
“Virda…maafin kakak ya!”, ucap kak Toni,
“sudahlah kak, lupakan itu semua, yang penting sekarang aku sudah bersama kalian lagi kan?”, ucapku sambil terus memeluk kakakku,
”Jika malam ini bintang nggak lagi bersinar buatku... Atau esok pagi nafas ini nggak lagi mampu kuhembus...Tapi aku tahu.. Hati ini punya ruang abadi yang akan selalu menyimpanmu... Bintang, matahari, hujan dan pelangi... cuma sekedar hiasan langit dibanding arti kalian dalam hidupku...”, ucapku. Mereka begitu senang dengan kehadiranku.
Karena merasa senang atas kembalinya aku, kak Toni mengadakan acara syukuran dengan mengundang anak-anak yatim dan juga teman-temannya, sambil menunggu kak Toni membagikan uang santunan, aku memutuskan untuk menunggunya di taman rumah, dimana tempat ini menjadi saksi bisu cintaku dengan kak Gali. Beberapa saat kemudian kak Kevin yang melihatku duduk sendirian segera menyusulku dan duduk disampingku,
“Virda, kamu ngapain disini sendiri?”, tanya kak Kevin,
“nggak papa kok kak, aku cuma pengen sendiri aja, kakak sendiri ngapain disini?”, tanyaku balik,
“oh, aku cuma mau nemenin kamu, biar kamu nggak kesepian!”, jawab kak Kevin.
Ketika aku sedang asyik ngobrol dengan kak Kevin, tiba-tiba kak Gali datang dan memarahiku,
“Virda, kamu ngapain disini berduaan dengan Kevin? Kamu selingkuh ya? Aku nggak nyangka kamu tega ngelakuin ini sama aku!”, ucap kak Gali dengan nada yang tinggi,
“bukan begitu, aku disini dengan kak Kevin cuma ngobrol biasa….!”, ucapku,
“halahh…nggak usah terlalu banyak alasan deh, aku tau kalau kamu juga mencintai Kevin, aku sama sekali nggak nyangka Vir, mulai sekarang kita PUTUS!!!”, ucap kak Gali sambil meninggalkanku,
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, aku hanya bisa menangis, karena aku adalah wanita yang lemah. Aku segera mencegah Kak Kevin yang berusaha menyusul kak Gali untuk menjelaskan semuanya,
“kak, sudahlah….mungkin ini yang terbaik buatku dan kak Gali!”, ucapku lirih.
Sementara itu kak Kevin berusaha menenangkanku,
“sudahlah, maafin aku, gara-gara aku kamu jadi putus dengan Gali”, ucap kak Kevin menyesal, “nggak ada yang salah, dan nggak ada yang perlu dimaafkan, ini sudah menjadi kehendak Allah!”, ucapku yang berusaha tegar.
Semenjak aku putus dengan Gali, rasanya hidup ini hampa. Mungkin aku ditakdirkan mempunyai garis wajah yang seperti ini. Garis wajah yang menjelaskan bahwa dibalik senyuman yang terlukis diwajahku, masih ada air mata yang tergambar jelas. Aku orang yang selalu bersikap seolah-olah selalu bahagia dan selalu tertawa, walaupun jiwaku rapuh. Aku tahu jelas dimana tempat aku harus tertawa, tempat aku bahagia, dan tempat aku meluapkan semua kesedihanku. Aku tahu bagaimana caranya membuat orang-orang disekitarku bangkit walaupun dengan itu aku harus jatuh. Mungkin mereka tak begitu mengenalku, benar-benar tak mengenalku. tapi aku tahu semua tentang mereka. Aku bukan orang yang mudah untuk mengungkapkan semua kehidupanku, sepercaya apapun aku pada mereka, tapi percayalah, aku tak bisa menceritakan semua kepahitanku. Bukan karena aku tidak mempercayai orang-orang disekitarku, tapi aku tak ingin membuat mereka sedih karena ku. Jika ada orang yang mengatakan seorang sahabat akan selalu ada disaat suka dan duka, tapi tidak denganku. Aku lebih ingin berbagi kebahagiaan ku bersama mereka dibanding aku harus melibatkan mereka dalam duka ku. Aku lebih ingin membuat mereka tersenyum dan bahagia, dibanding aku harus melihat mereka ikut menangis dan sedih karena ku.
Beberapa bulan setelah aku putus dengan Gali, aku mendapat kabar bahwa kini Gali telah menemukan penggantiku, dan tidak lain lagi dia adalah adiknya kak Aji, yaitu Alfi. Betapa hancurnya hatiku ketika mendengar berita itu, aku tidak menyalahkan Gali, tapi kenapa harus bersama orang yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri?. Hampir setiap malam aku meneteskan air mata ketika mengingat tentangnya dan membuatku bertanya tanya,
“ kenapa dia tega terhadapku..??? kenapa..??? kenapa...???.”
Aku ingin melupaknnya tapi itu sangat sulit bagiku karena aku terlanjur menyanyangi dan mencintainya, entah kapan aku bisa melupakannya mengingat kami satu universitas dan pastinya setiap hari kami pasti bertemu, rasanya aku tak ingin mengenalnya lagi setelah apa yang telah dia lakukan terhadapku, aku hanya bisa berharap semoga tuhan bisa membantuku menghapus banyanganya dan bisa melupakannya.
            Lambat laun, kak Toni akhirnya sadar dengan perubahan sikapku yang menjadi pendiam, egois dan keras kepala,
“dek, kamu kenapa?”, tanya kak Toni,
Aku hanya tersenyum. Karena merasa bingung dengan perubahan yang terjadi padaku, kak Toni pun meminta bantuan kepada semua teman-temannya. Suatu hari, semua teman-teman kakak datang ke rumah termasuk kak Aji, kakak dari kekasihnya Gali, mantanku. Mereka semua beruasaha menghiburku, tapi tak ada hasil,
“aku harus gimana lagi nih? Aku bingung!”, ucap kak Toni,
“Toni, sebelumnya aku minta maaf, karena adikku, Virda jadi begini”, ucap kak Yoga, “sudahlah…kamu jangan terlalu mikirin Virda, nanti biar aku bantu bicara. Ok!”, ucap kak Kevin.
Sementara itu aku hanya duduk di depan kamarku yang menghadap taman rumah, aku selalu menatap taman rumah itu, seakan akan aku dapat kembali ke masa laluku bersama Gali, adik kak Yoga, akupun segera menghapus pikiran itu,
“sudahlah Virda, ngapain sih kamu mikirin orang yang belum tentu mikirin kamu, kamu nggak boleh seperti ini terus, kamu harus bisa move on, kamu harus bangkit”, ucapku dalam hati. Akupun segera menghapus air mataku dan berusaha untuk lebih tegar lagi. Beberapa saat kemudian Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan,
“pasti kak Toni”, tebakku
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar, ternyata itu adalah kak Kevin
“ada apa kak?”, tanyaku,
“Maaf Vir, udah ganggu kamu, aku cuma mau bicara sama kamu”,  ucap kak Kevin
 “ya udah, masuk aja, emangnya mau bicara apa?”, tanyaku,
“ok! Langsung saja ya, sekarang aku mau tanya sama kamu, apa kamu nggak kasian sama kakak kamu yang begitu khawatir dengan perubahan sikap kamu?”, tanya kak Kevin,
“berubah? siapa juga yang berubah, aku masih Virda yang dulu kok, aku nggak berubah!”, ucapku,
“kok bisa?”, tanya kak Kevin heran,
Akupun menjelaskan semuanya,
“tapi Vir, kalau kamu memang benar-benar nggak bisa move on, aku siap kok buat bantu kamu”, ucap kak Kevin,
“maksudnya?”, tanyaku bingung,
“aku mau kok jadi pelarian kamu, karena aku memang benar-benar mencintai kamu”, jelas kak Kevin,
“makasih ya kak! Kalau memang kakak benaran mencintai aku, aku minta tolong buat bantu aku untuk move on, tapi kakak jangan pernah sakit hati ya! Karena aku tau mungkin dengan cara seperti ini, aku bisa belajar untuk mencintai kakak, seperti kakak mencintaiku”, ucapku.
Saat itu aku melihat senyum di wajah kak Kevin,
“yaudah, kalau gitu kita keluar yuk!”, ajaknya.
Aku dan kak Kevin segera melangkah keluar kamar dan menemui kak Toni dan teman-temannya.
            Setibanya di ruang keluarga, aku berlari ke arah kak Toni dan memeluknya,
“maafin aku ya kak! Udah buat kakak khawatir”, ucapku,
“iya nggak papa, kamu kok bisa berubah begini? Kenapa?”, tanya kak Toni,
“iya, aku akan belajar move on, dan aku juga akan belajar untuk mencintai kak Kevin!”, jelasku, “alhamdulillah…”, ucap kak Toni yang barengan dengan semua teman-temannya,
“kalau gitu aku pamit keluar dulu ya kak, aku mau keluar sama kak Kevin!”, ucapku,
Kak Toni hanya menjawabnya dengan senyum manisnya.
Aku dan kak Kevin segera pergi. Saat itu kak Kevin mengajakku ke suatu tempat yang sangat indah, dimana di tempat itu membuat hatiku sedikit tenang dan bisa membuatku untuk melupakan masalah yang ada, meskipun nggak secara langsung,
“kak, tempat ini indah banget!”, ucapku sambil merentangkan kedua tanganku dan menghirup udara yang masih segar,
“iya, tempat ini memang indah, kamu tau nggak, kalau di tempat ini kita bisa melepaskan masalah yang sedang kita hadapi!”, ucap kak Kevin,
“kok bisa? Emangnya gimana caranya?”, tanyaku,
“kamu teriak aja sekeras kerasnya, karena nggak ada yang dengar kok, nanti setelah teriak, coba kamu rasakan perubahannya”, jelas kak Kevin,
“yang bener? Aku nggak percaya”, kataku,
“kalau kamu gak percaya sekarang coba deh kamu teriak”, ucap kak Kevin.
Tanpa menunggu banyak, aku segera teriak sekencang mungkin, berkali-kali aku teriak, hingga membuat suaraku menjadi hampir habis, tapi apa yang dikatakan kak Kevin tadi benar, bebanku mulai sedikit berkurang,
“makasih ya kak, sekarang aku udah sedikit lega, karena bebanku sedikit berkurang”, ucapku, “iya sama-sama, udah sore nih, pulang yuk! Lain waktu kita kesini lagi”, ucap kak Kevin.
Kamipun segera menuju mobil dan pulang.
            Setelah sampai di depan rumah, aku melihat kak Toni yang sedang duduk di teras depan rumah, sepertinya dia sedang menungguku, aku dan kak Kevin segera turun dari mobil dan menuju ke tempat kak Toni, kak Toni langsung berdiri ketika melihatku dan kak Kevin yang sedang berjalan ke arahnya,
“darimana aja sih? Kok baru pulang?”, tanya kak Toni,
“ada deh? Keppo banget sih!”, jawabku cengengesan,
“yaudah, sekarang kamu cepat masuk dan mandi, habis itu langsung istirahat ya!”, ucap kak Toni,
“siap kak!! Kak Kevin, aku masuk dulu ya! makasih buat hari ini”, ucapku pada kak Kevin,
“iya, sama-sama”, balasnya.
Akupun segera masuk ke dalam rumah. Sementara itu kak Toni dan kak Kevin masih asyik ngobrol di luar,
“Vin, makasih ya udah buat adekku tersenyum lagi!”, ucap kak Toni,
“iya sama-sama”, balas kak Kevin,
“kamu memang sahabat terbaikku”, ucap kak Toni.
Karena hari sudah mulai malam, kak Kevin memutuskan untuk pulang,
“Toni, aku pulang dulu ya! Udah malem nih!”, pamit kak Kevin,
“ok, hati-hati di jalan!”, ucap kak Toni,
“sipp, salam ya buat Virda!”, tambah kak Kevin,
“tenang aja, pasti aku sampein kok”, jawab kak Toni,
“yaudah aku pamit dulu ya! Bye”, pamit kak Kevin, dan perlahan bayangannya mulai menghilang dari hadapan kak Toni.
            2 bulan 14 hari, aku lepas dari Gali dan menjalani hari-hariku bersama kak Kevin.  Bisa dibilang kalau aku sekarang udah sedikit move on dari Gali, dan ini semua berkat kak Kevin, dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Entah kenapa sejak tadi sore, badanku terasa sakit semua, mungkin aku terlalu lelah karena terlalu banyak tugas yang harus aku kerjakan. Saat ini aku masih ada di ruang tamu tepat di depan laptopku, sementara itu jam menunjukkan pukul 23.13, sudah hampir 6 jam lebih aku di depan laptopku ini, aku berusaha untuk tetap setia berada di depan laptopku untuk mengerjakan tugas sambil menunggu kak Toni pulang kerja meskipun kepalaku terasa sangat pusing, dan beberapa saat kemudian aku tertidur sementara itu laptopku masih menyala.
            Beberapa saat kemudian kak Toni pulang. Saat itu aku tau kak Toni sudah pulang, karena aku masih bisa mendengar suaranya yang mengomeliku karena laptopku masih menyala, sementara itu, aku tak bisa mengangkat kepalaku sama sekali, rasanya kepalaku begitu berat. Kak Toni pun berusaha untuk membangunkanku,
“dek, bangun!! Kok masih disini sih? Kalau tidur itu laptopnya di matiin, jangan dibiarkan menyala terus, sekarang ayo bangun!”, ucap kak Toni sambil meletakkan jasnya di kursi, “dek…kamu kenapa?”, tanya kak Toni khawatir, sementara itu aku tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kakakku. Ketika kak Toni mendekatiku dan berusaha untuk membangunkanku, saat itu juga kak Toni sadar kalau aku sakit,
“dek, ya Allah badan kamu panas banget!”, ucap kak Toni,
Tanpa banyak pikir kak Toni segera membawaku ke kamar dan mengompresku. Kak Toni mencoba membangunkan mama dan papa tapi mereka nggak mau tau apa yang terjadi. Akhirnya Kak Toni memutuskan untuk merawatku sendiri sampai dia tertidur karena mungkin kelelahan.
            Keesokan harinya, demamku belum turun juga, akhirnya kak Toni memutuskan untuk membawaku ke Rumah Sakit. Sampai di Rumah Sakit, kak Toni segera meminta izin kepada Direkturnya untuk off hari ini karena harus merawatku di Rumah Sakit. Setelah mendapat izin dari direkturnya, kak Toni langsung melihat keadaanku di ruang ICU, dan saat itu aku masih belum sadarkan diri. Beberapa saat kemudian, semua teman-teman kak Toni datang untuk membesukku,
“Toni, gimana keadaan Virda?”, tanya kak Kevin khawatir,
“dia belum sadarkan diri”, jawab kak Toni dengan nada yang lemas.
Sementara itu teman-teman yang lain bergantian untuk melihat kondisiku di ruang ICU. Beberapa saat kemudian kak Toni dan kak Yoga masuk keruanganku dirawat dan sholat di samping ranjangku, aku mendengar kak Toni dan kak Yoga berdoa untukku,
Ya Allah…di atas hamparan sajadah ku berdoa untuknya, aku meminta kesembuhan untuk dia yang ku sayangi, dia yang ku cintai, air mataku selalu menetes bila ku tau dia sedang menahan sakitnya, aku tau dia sedang berjuang bertahan hidup demi janji nya padaku,  
aku tau dia sedang merintih kesakitan, tapi aku pura-pura tidak tau karena aku tidak mau menambah luka nya, aku tidak mau dia tau kalau aku menangis disini, aku mau dia selalu tersenyum tanpa tau aku j
uga disini sakit melihat dia menahan sakit nya, Berikan pada nya kesembuhan ya Allah. Aku ingin selalu melihat senyuman manis nya, Aamiin Ya Rabbal Alamin”.
Usai menunaikan ibadah sholat tahajud, kak Toni segera mencium keningku,
“sadar dek! Cepat sembuh, ada kakak disini”, ucap kak Toni,
Mungkin saat itu Allah telah mengabulkan semua doa kak Toni, tidak lama setelah kak Toni sholat, Allah memberiku kesempatan untuk bisa melihat kakakku dan yang lainnya.
            Seminggu sudah aku menjalani perawatan secara intensif di Rumah Sakit, rasanya bosan sekali jika setiap hari harus makan makanan yang hambar dan selalu minum obat, kini keadaanku berangsur-angsur mulai membaik dan dokterpun mengizinkan aku untuk pulang, dengan syarat aku harus istirahat yang cukup dan nggak terlalu banyak fikiran. Akupun menyetujui persyaratan yang diajukan Dokter untukku, dan kini kak Toni membantuku untuk mengemasi barang-barangku, karena hari ini juga aku diizinkan untuk pulang. Beberapa saat kemudian aku telah sampai di rumahku, tapi aku tidak melihat mama dan papa sama sekali,
“kak mama sama papa kemana?”, tanyaku,
“kakak juga nggak tau, kan kakak nggak pernah pulang?”, jawab kak Toni,
“yaudah sekarang kamu istirahat gih!”, ucap kak Toni,
Tanpa banyak bicara karena aku juga masih pusing, akupun segera istirahat di kamarku.
            Keesokan harinya, aku masih melihat kak Toni yang sedang membuatkanku sarapan di dapur,
“kakak…kok belum berangkat?”, tanyaku,
“berangkat kemana?”, tanya kak Toni balik,
“ya berangkat kerja lah, udah 1 minggu lebih loh kakak nggak kerja, kan kasian teman-teman  kakak!”, ucapku,
“kakak nggak kerja dulu dek, nanti kalau kakak kerja, siapa yang merawat adek?”, jelas kak Toni,
“ya ampun kak! Aku kan udah sembuh, cuma tinggal pusing aja, udah sekarang kakak berangkat kerja gih!”, pintaku,
“tapi gimana dengan adek?”, tanya kak Toni lagi,
“udahlah kak, nggak usah mikirin aku, aku bisa kok jaga diriku sendiri”, jawabku,
“beneran nih? Kalau gitu kakak berangkat dulu ya? Nanti kalau ada apa-apa, kamu telfon kakak ya?”, ucap kak Toni,
“baiklah!”, ucapku,
“kalau gitu kakak berangkat dulu ya. Bye!”, ucap kak Toni dan perlahan bayangannya menghilang dari hadapanku.
            3 hari kemudian, kondisiku mulai membaik, rasa kangen menyelimuti diriku, ingin sekali aku ikut kak Toni ke tempat kerjanya dan bertemu dengan yang lainnya, tapi rasanya itu tidak mungkin, karena kepalaku masih terasa sedikit pusing. Beberapa saat kemudian kak Toni masuk ke kamarku,
“dek, hari ini adalah hari ulang tahunnya kak Kevin, apa kamu nggak mau ikut kakak pergi ke tempat kerja?”, tanya kak Toni,
“apa? Hari ini adalah ulang tahunnya kak Kevin, ya Allah…aku harus gimana nih?”, ucapku dalam hati,
“dek, kok bengong sih? Adek mau ikut apa nggak?”, tanya kak Toni,
“emmm… sepertinya aku nggak bisa ikut kak, kepalaku masih sedikit pusing, salam aja ya buat kak Kevin”, jawabku,
“baiklah kalau gitu, kakak berangkat dulu ya!”, ucap kak Toni sambil meninggalkanku sendirian di dalam kamar.
Setelah kupikir-pikir, rasanya nggak sopan jika aku nggak hadir dalam acara ulang tahun kak Kevin, karena berkat dialah aku bisa sedikit move on dari Gali, akupun memutuskan untuk datang ke tempat kerja kak Toni, tanpa mengabari siapapun.
            Setibanya disana, sepertinya semua teman-teman kak Toni sudah berada di ruangan lain untuk persiapan surprice di hari ulang tahun kak Kevin. Aku memutuskan untuk memanggil kak Ferdy, asisten kak Toni,
“kak, sini deh!”, ucapku pada kak Ferdy,
“eh Virda, kamu sudah sembuh ya?”, tanya kak Ferdy,
“iya alhamdulillah, kak nanti kan ada kejutan buat kak Kevin, nah nanti ketika semua orang udah ada di dalam ruangan, tolong kakak matiin lampunya, terus kakak panggil aku, tapi ingat jangan panggil namaku.ok!”, jelasku pada kak Ferdy,
“ok, sipp!”, jawabnya.
Dan beberapa saat kemudian ketika semua orang sudah berada di dalam ruangan, tiba-tiba lampu padam, dan saat itu juga aku datang untuk membawa kue, dan ketika lampu dinyalakan, semua teman-teman kak Toni terlihat begitu kaget dengan kehadiranku termasuk kak Kevin,
“happy birthday ya kak, Selamat ulang tahun!, semoga hari harimu kedepan lebih bahagia dan penuh harapan, meski ada sedikit rintangan anggaplah itu hanya suatu cobaan untuk semakin menguatkan imanmu, sekali lagi Happy Birthday. Semoga segala kebaikan menyertaimu i wish you all the best...", ucapku pada kak Kevin,
“Virda…kata kakak kamu tadi, kamu masih sakit, kok sekarang kamu udah ada disini sih?”, tanya kak Kevin bingung,
“iya, sebenarnya aku masih sedikit pusing, tapi nggak papalah, masak ulang tahun kak Kevin yang cuma 1 tahun sekali aku nggak datang sih? Kan nggak sopan!”, ucapku,
“makasih ya Vir”, ucap kak Kevin. Kemudian semua teman-teman kak Kevin secara bergantian mengucakan selamat kepada kak Kevin.
            Beberapa saat kemudian, sebagai kado buat kak Kevin, kak Toni sengaja memainkan sebuah lagu yang membuat kak Kevin meneteskan air mata, aku nggak tau kenapa dia sampai meneteskan air mata itu, mungkin lagu itu mempunyai arti tersendiri di hatinya. Usai menyanyikan lagu buat kak Kevin, tiba-tiba salah satu guru ngaji kak Kevin yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri datang.
Tiada doa yang bisa kupanjatkan Selain doa semoga panjang umur dan bahagia, semoga akal semakin luas dan cerdas, semoga hati semakin bersih dan bijak, semoga jasad semakin cekatan dan terampil dalam berbuat kebajikan.... selamatt Milad anakku, sucikan diri dengan wudhu”, ucap guru ngajinya kak Kevin yang belakangan aku tau kalau namanya adalah ustad Ahmad, setelah memberi doa buat kak Kevin, ustadz Ahmad memberikan sedikit tausyiah kepada semua teman-teman kak Kevin dengan tema doa ibu adalah doa paling mustajab, aku hanya bisa mendengarkan ketika ustadz menyampaikan tausyiahnya. Beberapa saat kemudian semua ibu dari teman-teman kakak datang, dan semuanya meminta maaf kepada ibunya masing, ketika semua orang sedang menjemput ibunya masing-masing, aku dan kak Toni hanya bisa melihat kebahagiaan yang tersirat di mata mereka, rasanya aku sudah tak sanggup menahan air mataku ini, karena aku tak sekuat batu karang yang ada di lautan, ketika ustadz Ahmad melihatku yang sedang menangis, ia segera menghampiriku yang saat itu sedang berdiri berdua dengan kak Toni dan menjauh dari yang lainnya. Karena dari sekian banyak pekerja yang ada, hanya aku dan kak Toni yang tidak mendapatkan kasih sayang yang tulus dari seorang ibu.
            Ketika semua orang memeluk ibunya masing-masing, aku dan kak Toni hanya bisa diam, meskipun kadang aku iri melihat kebersamaan mereka,
“kalian kenapa menjauh dari teman-teman kalian? Ibu kalian mana?”, tanya ustadz Ahmad,
“ibu kami sibuk dengan pekerjaannya, beliau nggak ada waktu buat kami”, jawab kak Toni, sementara itu aku hanya bisa menangis dan menangis, suasana yang awalnya haru biru tiba-tiba berubah menjadi hening ketika ustadz Ahmad membawaku dan kakakku ke tengah ruangan, “maaf sebelumnya, apa yang membuat kamu menangis sampai begini? Bukankah kamu masih mempunyai seorang ibu?”, tanya ustadz Ahmad padaku,
Sementara itu aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena aku terlalu sedih, akhirnya ustadz Ahmad memutuskan untuk merelaksasiku dan kak Toni,
“Virda, apa yang membuat kamu menangis seperti ini?”, tanya ustadz Ahmad,
“saya sedih ustadz, karena selama ini saya nggak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ibu”, jawabku,
“memangnya ibu kamu kemana?”, tanya ustadz Ahmad kembali,
“mama ada di rumah, tapi beliau nggak mau mengakui saya sebagai anaknya, karena baginya saya ini adalah anak pembawa sial”, jelasku,
“kalau kamu ingin mengatakan sesuatu buat mama kamu, apa yang ingin kamu katakan?”, tanya ustadz Ahmad,
“ma….sebenarnya apa salahku? kenapa mama begitu membenciku? Ma, aku sayang mama, aku ingin mama ada disaat aku benar-benar membutuhkan mama, pernakah mama khawatir atas keadaanku? Pernakah mama merasa iba atas diriku? Aku hanya ingin satu ma, sayangi aku seperti mama menyayangi kakak, dan jangan pernah membenci kakak hanya karena mama benci terhadapku, hanya itu ma!”, ucapku
Beberapa saat kemudian aku sudah sadar dan bebas dari pengaruh relaksasi, sementara itu kak Toni masih dalam pengaruh relaksasi,
“Toni, apa yang membuatmu menangis?”, tanya ustadz Ahmaad,
“saya sedih melihat perlakuan mama kepada saya dan adik saya”, jawab kak Toni,
“bisa kamu ceritakan semua kejadian yang membuatmu sedih?”, tanya ustadz Ahmad,
“setiap hari, mama dan papa selalu bertengkar, dan pertengkaran itu terjadi ketika adek kembali ke rumah, aku nggak menyalahkan adekku, aku hanya sedih kalau melihat adekku yang kadang memanggil-manggil mama ketika adek tertidur, mama memang menyayangiku, tapi aku ingin mama juga menyayangi adek seperti mama menyayangiku, bahkan ketika aku mengabari mama kalau adek sakit, mama nggak mau tau tentang itu, dan kini mama membenciku karena aku selalu membela adekku, aku hanya kasihan sama adek, sejak dia tinggal bersama kami, dia nggak pernah merasakan gimana rasanya disayang, diperhatikan oleh mama kandungnya sendiri, terkadang adek cerita ke aku kalau dia iri sama teman-temannya yang begitu disayang sama mamanya, tapi mau gimana lagi, sampai sekarang mama terus bersikap kasar sama adek”, jelas kak Toni,
“kalau seandainya ada mama kamu disini, apa yang ingin kau sampaikan?”, tanya ustadz Ahmad, “ma…tolonglah ma, jangan main kasar lagi sama adek, mama nggak kasihan sama adek? Dia butuh mama, dia butuh kasih sayang mama, kami butuh mama karena kami sayang sama mama meskipun mama nggak pernah tau itu”, ucap kak Toni,
Beberapa saat kemudian kak Toni terbangun dari pengaruh relaksasi, kini aku bisa merasakan apa yang kak Toni rasakan.
            Tiba-tiba handphone ku berdering, dan ada telfon masuk, aku segera mengangkat telfon itu, ternyata itu adalah telfon dari dosenku, beliau bilang kalau besok pagi aku harus berangkat ke Madiun untuk mengikuti lomba. Ketika kak Toni mendengar semua itu, dia berusaha mencegahku untuk tidak pergi, karena dia takut kejadian yang sempat terjadi beberapa waktu silam akan terjadi padaku, aku tau kalau kak Toni masih sedikit trauma dengan kecelakaan kereta yang hampir membuatnya kehilanganku, tapi aku nggak bisa membatalkan semua ini, “dek, kakak mohon, jangan pergi!”, ucap kak Toni,
“maafin aku kak, kali ini aku nggak bisa, aku harus pergi, ini semua demi kita”, ucapku,
Akupun berusaha menjelaskan semuanya pada kak Toni dan juga yang lainnya, aku pergi bukan untuk kepentingan pribadi, tapi ini semua untuk kita. Saat itu suasana menjadi campur aduk, antara sedih, haru, bahagia menjadi satu. Saat itu ketika jam istirahat, aku memutuskan untuk pulang, karena aku harus istirahat secukupnya,
“kak, aku pulang dulu ya!”, ucapku pada kak Toni,
“iya, maaf kakak nggak bisa antar kamu pulang, karena pekerjaan kakak belum selesai”, ucap kak Toni,
“iya nggak papa kok, aku duluan ya! bye”, ucapku sambil berjalan menuju pintu keluar.
Aku melihat kesedihan di mata kakakku dan juga teman-temannya, tapi mau gimana lagi? Aku harus konsisten dengan apa yang seharusnya aku lakukan.
            Sesampainya di rumah, aku nggak melihat mama dan juga papa, mungkin mereka belum pulang, aku segera mengemasi barang-barangku yang harus aku bawa besok pagi, sebenarnya aku ingin pamitan sama mama dan juga papa, tapi ku rasa itu nggak mungkin, akhirnya aku memutuskan untuk menulis sebuah surat buat mama dan papa.
To : mama dan papa
From : Virda Diandra
Ma, pa, maaf kalau Virda kurang sopan karena harus berpamitan lewat sepucuk surat ini, Virda Cuma ingin meminta doa restu dari mama dan papa supaya Virda diberi kelancaran dalam perlombaan besok yang akan di selenggarakan di Madiun. Maaf kalau Virda hanya bisa menyampaikannya lewat surat ini, karena Virda tau, mama dan papa nggak punya banyak waktu untuk Virda. Sekali lagi Virda minta doanya.
                                                                                                            salam sayang
Virda Diandra
Usai menulis surat itu, segera kuletakkan di meja kamar mama dan papa, sesampainya ku di kamar mama dan papa, ketika ku lihat isi kamar itu, aku nggak melihat satu foto pun yang terpasang di dinding kamar, yang ada hanya foto pernikahan mama dan papa, bahkan fotoku dan foto kakakku nggak ada di kamar mama dan papa,
“ma, pa, segitu bencinya kalian sama aku dan kak Toni, hingga tak ada satu fotopun yang terpampang di kamar kalian, maafin aku ma, pa, gara-gara aku, mama dan papa kini membenci kak Toni, maaf ma, pa!”, ucapku dalam hati.
Akupun segera pergi dari kamar mama dan papa dan segera menuju ke kamar untuk istirahat.
            Keesokan harinya, aku dan kak Toni segera berangkat menuju stasiun. Ketika aku sedang menunggu dosenku, aku melihat kak Kevin dan teman-temannya berjalan ke arahku. Ternyata mereka semua ingin mengantarkan kepergianku,
“makasih ya, udah datang”, ucapku,
“iya sama-sama”, jawab kak Deni.
Beberapa saat kemudian dosenku datang dan mengajakku untuk segera masuk ke dalam kereta, akupun segera mengikuti langkah dosenku, ketika aku berada tepat di tengah-tengah stasiun, aku membalikkan badanku dan berharap mama dan papa datang untuk mengantarkanku, tapi mungkin itu hanya mimpi yang semu, karena mama dan papa nggak akan datang dan bahkan tidak akan pernah datang. Akupun melanjutkan perjalananku dan masuk ke dalam kereta, perlahan bayangan kak Toni dan juga yang lainnya menghilang dari hadapanku.
            Hampir 1 minggu lebih aku berada di kota orang, dan hari ini adalah momen terindah dalam hidupku, karena di hari ini, aku dinyatakan sebagai pemenang dalam lomba jurnalistik, ingin rasanya aku memeluk mama, papa, kak Toni, tapi itu nggak mungkin. Ketika salah satu juri yang berasal dari kampus lain menanyaiku,
“untuk siapa piala kemenanganmu ini?”, tanya juri yang berasal dari kampus negeri itu,
“piala ini aku persembahkan buat mama, papa, kak Toni, kak Kevin dan semuanya, and special this is for you mom, I love you!”, ucapku.
Ketika berita kemenanganku di angkat oleh berbagai media, dan mereka memberitakan secara langsung kemenangan itu, bahwa untuk perlombaan jurnalistik tahun ini dimenangkan oleh Virda Diandra perwakilan dari salah satu kampus ternama di Bandung. Senang rasanya karena bisa membawa nama kota kembang dalam perlombaan ini. Beberapa saat kemudian, mataku menjadi kabur, dan aku terjatuh tidak sadarkan diri. Dosenku segera membawaku ke Rumah Sakit dan segera mangabari keluargaku. Para dokter menyatkan bahwa aku mengidap kanker otak. Saat kak Toni tau kalau aku sakit dan harus di rawat di Madiun, kak Toni sangat shok, “maaf pak, kami dari keluarga Virda Diandra tidak mengizinkan Virda Diandra dirawat disana, dan kami ingin merawatnya sendiri”, ucap kak Toni,
Karena keluargaku tidak setuju kalau aku dirawat di sini, akhirnya dosenku memutuskan untuk membawaku pulang ke Bandung.
            Sesampainya di Bandung, kak Toni dan teman - temannya segera membawaku ke rumah sakit, karena kondisiku yang sangat lemah, akhirnya para dokter sepakat untuk mengoperasiku untuk mengangkat sel-sel kanker yang ada di otakku. Usai operasi berlangsung, kondisiku berangsur-angsur pulih, ketika aku membuka mataku aku orang yang pertama kali ku lihat adalah mama, aku sama sekali nggak nyangka kalau mama akhirnya peduli terhadapku, aku hanya bisa tersenyum melihat mama, karena saat itu aku masih belum punya kekuatan untuk berbicara. Beberapa minggu kemudian mama memutuskan untuk membawaku pulang dan merawatku di rumah, aku begitu bahagia mendengar kabar itu meskipun harus menahan sakit, tapi aku sangat bahagia. Kini aku dan kak Toni bahagia, karena mama dan papa kembali menyayangiku dan juga kak Toni, kebahagiaanku terasa lebih sempurna.
                Semenjak aku sakit, mama selalu memberi perhatiannya kepadaku, tapi ketika aku sembuh, mama kembali seperti mama yang dulu, ia mulai acuh dengan keadaanku, kalau seandainya aku tau, mungkin aku lebih memilih untuk terus sakit, meskipun terasa nggak enak. Beberapa saat kemudian aku melihat kak Toni yang sedang mengejar mama dan papa, saat itu pertengkaran hebat terjadi antara mama dan papa, sehingga membuat mama dan papa pergi, kakak berusaha mencegahnya, tapi nggak berhasil, mama dan papa tetap memilih pergi dari rumah.
“Ma, pa andai kalian tau bahwa aku tak menyesal mengenal mama dan papa, aku tak pernah salah menyayangi kalian, karna semua indah bagiku, karna semua menjadi pelajaran berarti buat diriku dan juga kakak. Cinta mama dan papa memang tak dapat ku miliki, kasih sayang kalian memang tak bisa hadir di hati, namun hanya satu yang pasti, aku tak kan pernah ingkari janjiku, untuk membuat mama dan papa kembali menyangi kami. Tapi aku kecewa, kalian pergi tanpa kata, tanpa sedikitpun merasa iba, dengan apa yang sedang aku dan kak Toni rasakan. Jika memang ini mau mama dan papa. Aku beserta kak Toni ikhlas menerima keputusan kalian”.
Beberapa saat kemudian setelah mama dan papa pergi, kak Toni kembali ke kamarku dengan muka yang begitu sedih, aku tau bagaimana persaan kakakku saat ini, karena aku juga merasakannya,
“kak, biarkanlah mama dan papa pergi, mungkin mereka ingin mencari jalan tengah dari masalah yang mereka hadapi tanpa ada kita yang bagi mereka adalah seorang pengganggu, dan mereka pasti tau mana yang lebih baik untuk kita daripada kita, sebaiknya kita berdoa saja buat mama dan papa, semoga mereka selalu berada di jalan yang benar dan di lindungi Allah!”, ucapku pada kak Toni,
“kamu tegar banget sih dek, kakak kagum sama adek” ,ucap kak Toni,
“disini aku bisa tegar karena kakaklah yang membuatku tegar, kak! Perasaanku kok nggak enak ya?”, ucapku pada kak Toni,
“iya dek, perasaan kakak juga nggak enak, tapi mungkin ini karena kita terlalu lelah, lebih baik kita istirahat ya!”, ucap kak Toni,
Akupun segera meletakkan kepalaku di atas bantal boneka pemberian kakakku, sementara itu kak Toni tidur diatas sofa samping ranjang tidurku. Belum sampai aku dan kak Toni memejamkan mata, tiba-tiba telfon rumah berdering, kak Toni segera pergi ke ruang keluarga untuk mengangkat telfon tersebut, akupun segera menyusulnya meskipun kepalaku terasa sangat sakit. Ketika aku melihat raut muka kak Toni yang terlihat sangat tegang dan shok, akupun memutuskan untuk menanyakan apa yang terjadi kepadanya,
“kak, telfon dari siapa?”, tanyaku polos,
“dari polisi dek”, jawab kak Toni,
“kok dari polisi? Memangnya ada apa?”, tanyaku bingung,
“mama sama papa kecelakaan, mobilnya masuk ke jurang”, jawab kak Toni dengan mata yang berkaca-kaca sambil meletakkan telfon ke tempat semula dengan keadaan yang sangat lemas. Dan tanpa banyak bicara, kakak segera mengajakku untuk segera pergi ke tempat kecelakaan.
Betapa hancur hatiku dan juga hati kak Toni ketika kami melihat mobil yang di tumpangi mama dan papa meledak di tengah jurang. Polisi memastikan bahwa korban tidak dapat diselamatkan. Saat beberapa polisi membawa jasad mama dan papa ke samping jalan, aku dan kak Toni segera menghampirinya. Kakak sangat terpukul dengan kejadian ini, “mama…papa…bangun ma, pa!”, teriak kak Toni diikuti air mata yang terus membasahi pipinya,
“mama…papa”, ucapku lirih,
“ya Allah, kenapa secepat ini Engkau ambil kedua orang tua kami? Kenapa harus secepat ini? Kami belum bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tua kami!”, ucap kak Toni yang belum bisa menerima kenyataan pahit ini.
Polisi memutuskan untuk segera membawa jenazah mama dan papa ke Rumah Sakit untuk di otopsi. Sementara itu aku berusaha menenangkan kak Toni, meskipun perasaanku sangat terpukul dengan kejadian ini. Aku memutuskan untuk mengajak kakak pulang.
Gema surat yasin dan tahlil berkumandang di rumah mama dan papa, rumah yang belum seutuhnya menjadi milikku dan kak Toni. Kini, rumah itu menjadi sunyi. Kakak yang dari tadi sore nggak mau keluar kamar membuatku semakin khawatir. Aku tau, kak Toni sangat menyayangi mama dan juga papa, begitu juga denganku. Tapi aku berusaha untuk kuat dan tegar, meskipun hatiku begitu rapuh. Dari kejauhan, aku melihat kak Kevin dan juga teman-temannya berjalan menuju ke arahku,
“Vir, kami turut berduka cita ya atas meninggalnya mama dan papa kamu!”, ucap kak Kevin, “kamu yang sabar ya!”, tambah Gali,
“oiya, kakak kamu mana? Kok nggak kelihatan?”, tanya kak Yoga,
“kakak nggak mau keluar kamar dari tadi sore, mungkin kakak belum siap menghadapi kenyataan ini, kalau kalian mau ketemu dengannya, silahkan, dia ada di kamarnya!”, jelasku, “kalau gitu, kami semua ke kakak kamu dulu ya!”, ucap kak Yoga,
“iya kak, kalau bisa, tolong bujuk kakak, supaya dia mau keluar kamar”, pintaku.
Kak Yoga dan teman-temannya segera menuju ke kamar kak Toni dan berusaha membujuknya agar dia mau keluar kamar. Karena sebentar lagi kita semua akan mengantarkan mama dan papa ke peristirahatan terakhirnya.
Awan berselimut mendung mengiringi kepergian mama dan papa, hanya isak tangis yang dapat aku dengar dari kak Toni dan teman-teman dari mama dan papa. Aku berusaha untuk menenangkan kak Toni, meskipun hatiku sendiri merasakan apa yang kak Toni rasakan, tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Usai mengantarkan mama dan papa ke peristirahatan terakhirnya, dengan berat hati aku dan kak Toni melangkah pergi dari pemakaman itu. Mama dan papa memang sudah pergi dari dunia ini, tapi mama dan papa tidak akan pernah pergi dari hatiku dan kak Toni. Waktu terasa begitu singkat, rasanya baru saja kemarin aku bertemu dengan keluarga kandungku, kini aku harus rela kehilangannya untuk yang kesekian kalinya.
“Tuhan….kuatkan aku!”, jeritku dalam hati.
Kak Toni begitu terpukul dengan kejadian ini, sehingga membuat senyum manisnya hilang. Aku sedih melihat perubahan sifat kak Toni, tapi apa yang harus aku lakukan? Mungkin aku harus membawanya pergi untuk sementara waktu.
Meskipun aku nggak pernah merasakan bagaimana rasanya disayang dan dicintai oleh mama dan papa, aku akan tetap bersyukur, karena Allah masih mengizinkan aku untuk bertemu dengan orang tua kandungku, termasuk kakakku, walaupun itu semua terasa begitu singkat. Aku tau, mama dan papa tidak pernah menganggapku sebagai seorang anak, tapi aku akan tetap menyayangi kalian. Kalian tahu, aku tak bisa lagi melangkah untuk mendekati kalian. Aku telah kehilangan cinta dari orang yang paling kucintai, dan di hari ini, hari indah ini aku sangat merindukan kalian. Jalanan terasa begitu sepi, Rumah terasa kosong, Terasa ada lubang di hatiku, Aku sendiri, semua ruang terasa semakin sempit, aku bertanya-tanya bagaimana semua terjadi? Kenapa semua bisa terjadi? Aku bertanya-tanya dimanakah hari-hari kebersamaan kita, meskipun aku tak pernah kalian anggap, tapi aku akan tetap  bertahan untuk merengkuh cinta yang tampak begitu jauh. Maka kupanjatkan doa dan berharap mimpi-mimpiku kan membawaku ke sana, ke tempat di mana langit biru membawa kalian pergi, karena aku ingin bertemu dengan kalian sekali lagi, mama…papa…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar