INGINKU BERSAMAMU
Terdiam merenung sendiri, dengan bersenandung rindu. Terbayang perjalanan
waktu, sebuah kisah masa lalu yang takkan mungkin bisa kulupakan. Kak Toni,
sebuah nama yang mungkin tak bisa kulupa sampai kapanpun. Dia adalah sosok
kakak yang sangat menyayangiku di bandingkan dengan kedua orang tua kandungku.
Hampir 3 tahun aku hidup sendiri, dan selama itulah aku tidak pernah melihat
wajah kakakku ataupun kedua orang tuaku, aku memutuskan untuk pergi dari rumah
di bandingkan harus tinggal dengan orang-orang yang tak pernah menganggapku
ada, kecuali kakakku.
Aku mencoba untuk hidup mandiri, saat itu aku memutuskan pergi dari rumah
dan tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Meskipun disini aku
tak mengenal siapapun, tetapi penduduk di desa ini jauh lebih baik dibandingkan
dengan kedua orang tuaku. Selama 3 tahun bekerja sebagai relawan yang mau
membantu proses belajar mengajar di sekolah sekitar desa tersebut. Aku tidak
tau apakah selama 3 tahun ini keluargaku mencariku atau tidak, kalaupun mereka
mencariku, mereka tidak mungkin mencari sampai ke pelosok desa seperti tempat
ini, meskipun mereka membenciku, tapi tidak tau kenapa aku tidak bisa membeci
mereka, aku sangat menyayangi mereka.
Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke Bandung, bukannya aku ingin kembali
ke rumah kedua orang tuaku, tapi tujuan utamaku pergi ke Bandung adalah untuk
melihat kak Toni, meskipun tidak bisa bertemu secara langsung. Haripun semakin
sore, tapi aku masih belum bisa melihat atau bertemu dengan kak Toni. Karena
terlalu lelah, aku memutuskan untuk istirahat sejenak di depan kedai kopi, dan
aku melihat wajah kak Toni di televisi, aku senang bisa melihat kakakku, tapi
wajah kak Toni berbeda dari kak Toni yang dulu, ia nampak kurus dan tak
bersemangat. Sambil menunggu pesanan kopiku, aku melihat kakakku yang di
dampingi teman-temannya untuk bicara di suatu berita,
“mohon perhatiannya sebentar, bagi kalian semua yang tau atau mengetahui
keberadaan adik saya, saya mohon segera kabari saya, sudah 3 tahun dia menghilang,
jadi buat teman-teman semuanya, kalau anda bertemu atau melihat adik saya,
tolong segera kabari saya”, ucap kak Toni sambil menunjukkan fotoku
Aku melihat kesedihan di matanya, dan aku paling tidak bisa melihat kakakku
bersedih apalagi menangis, tanpa menunggu pesananku, aku segera pergi dari
kedai itu, dan tanpa aku sadari ternyata ada seseorang yang menfotoku dan
mengirimnya ke kak Toni.
Haripun semakin malam, udara semakin dingin, aku memutuskan untuk terus
berjalan, aku nggak tau harus pergi kemana, aku hanya mengikuti langkah kakiku.
Beberapa saat kemudian langkahku terhenti oleh sebuah mobil mewah di depanku,
saat pengendara mobil itu turun dari mobil mewahnya, ternyata dia adalah kak
Toni, aku sangat terkejut melihat kak Toni yang ada di depanku,
“adek….!”, ucap kak Toni lirih, seakan-akan dia mengalami luka batin yang dalam
Kak Toni segera melangkah menuju ke
tempatku berdiri dan memelukku, sementara itu aku tak bisa berkata apa-apa, aku
hanya bisa menangis,
“dek, kita pulang yuk! Kakak kangen sama adek!”, ucap kak Toni,
“nggak kak, aku nggak bisa ikut kakak pulang, aku nggak pantas tinggal
dirumah kakak!”, ucapku,
“kenapa? Rumah itukan rumah kamu juga!”, jawab kak Toni,
Akupun membalas pelukan kakakku yang selama ini kurindukan, dan ternyata
dugaanku benar, kak Toni semakin kurus, mungkin kak Toni selalu mikirin
keberadaanku selama ini. Tiba-tiba langit menumpahkan air matanya, hujan begitu
deras, hingga membuatku begitu kedinginan, dan kak Toni pun segera membawaku
masuk ke dalam mobil untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, kakiku masih terasa berat
untuk masuk ke dalam rumah itu, tapi kak Toni memaksaku untuk tetap masuk.
Ketika aku selesai mengeringkan badanku, tiba-tiba mama masuk ke kamarku,
“wow, bagus ya, sudah berani kamu kembali ke rumah
ini! Kemana saja kamu selama ini?”, tanya mama,
“aku…aku…”, tiba-tiba kak Toni masuk dan membelaku,
“mama ini kenapa sih? Virda kan juga anak mama? Kalau
memang mama nggak suka Virda balik ke rumah ini, biar Toni dan Virda pergi
saja!”, ucap kak Toni,
Mama memang sangat menyayangi kak Toni, sehingga dia
nggak mau jika kak Toni pergi, mamapun mengizinkanku untuk tetap tinggal di
rumah ini,
“baiklah kalau begitu, dia boleh tinggal disini!”,
ucap mama sambil meninggalkanku dan kak Toni. Aku menangis di pelukan kakakku.
Keesokan harinya kak Toni mengajakku ke tempat
kerjanya dan memperkenalkanku kepada teman-temannya, dan semua teman-teman kak
Toni begitu baik padaku,
“hai Virda….kamu itu nggak jauh beda ya sama Toni,
sama-sama murah senyum”, ucap kak Yoga,
“namanya juga saudara, ya jelas sama lah! Iya kan
Vir?”, tambah kak Kevin,
“sudah-sudah, mentang-mentang adikku cewek, kalian
malah godain terus!”, ucap kak Toni.
Saat itu kami tertawa lepas, sampai-sampai lupa kalau
harus bekerja. Akhirnya mereka semua melanjutkan aktivitasnya untuk bekerja.
Saat istirahat, kak Kevin dan kak Yoga mengajak kak Toni untuk makan,
“Toni, makan yuk! Kamu kan belum makan?”, ajak kak
Kevin,
“tau nih Toni, jarang banget makannya, sekarang badan
kamu tambah kurus tuh, gimana nggak mau sakit? Pola makan kamu aja nggak kamu
jaga!”, ucap kak Yoga,
“jadi, selama ini kak Toni sakit-sakitan ya kak?”,
tanyaku memperjelas,
“ iya jadi semenjak kamu menghilang, kakak kamu nggak
mau makan dengan teratur, makanya sekarang tambah kurus dan sering sakit”,
jawab kak Yoga,
“kalau gitu sekarang kakak makan gih, biar nggak
sakit, kalau kakak nggak mau makan, Virda pergi nih”, ancamku pada kak Toni,
“baiklah, kakak makan deh, tapi adek juga ikut makan
ya!ok!”, ucap kak Toni,
Mau nggak mau aku harus menuruti kemauan kakakku,
karena aku nggak mau melihat kakakku sakit. Akhirnya aku, kak Yoga, kak Kevin
dan kak Toni pergi keluar untuk makan, dan beberapa saat kemudian kak Gali, kak
Deni, kak Hendra, dan kak Aji menyusul. Mereka adalah teman kak Toni.
Sambil menunggu pesanan, tiba-tiba kak Deni angkat
bicara,
“Vir, waktu kamu pergi kamu tinggal dimana dan sama
siapa?”, tanya kak Deni,
aku pun menceritakan semuanya, bahwa selama 3 tahun
aku merantau dan bekerja sebagai relawan untuk menyambung hidup.
“kamu hebat ya, kamu bisa hidup mandiri selama 3
tahun, aku salut sama kamu”, ucap kak Kevin,
Dan saat itu sambil makan siang, kami semua bertukar
cerita satu sama lain. Sementara itu kak Kevin terus memandangiku,
“Vin, kamu kenapa? Kok liatin Virda sampek
segitunya?”, tanya kak Gali,
“nggak papa, aku kagum aja liat adeknya Toni, dia
tegar banget!”, jawab kak Kevin,
“kagum apa kagum?”, goda kak Aji,
“iya beneran aku cuma kagum!” jawab kak Kevin,
“kalau memang cuma kagum, kok pipi kamu merah gitu?”,
goda kak Hendra,
“udah-udah, sekarang kita balik kerja, gak ada yang
boleh ganggu adekku!”, ucap kak Toni. Akhirnya kami semua kembali ke tempat
kerja kak Toni.
Hampir 1 tahun aku kembali dan tinggal di rumah mama
dan papa dan juga kak Toni, dan saat itu juga aku memutuskan untuk meneruskan
kuliahku yang sempat tertunda. Aku pun mencoba mendaftarkan diri ke sebuah
universitas negeri yang ada di Bandung, dan beberapa hari setelah tes, aku
dinyatakan di terima di universitas tersebut. Kini aku mempunyai rutinitas
baru, yaitu kuliah setiap hari, karena jadwal kuliahku terlalu padat, sudah hampir
2 bulan lebih aku nggak bisa menemani kak Toni untuk ngobrol bareng teman-teman
kak Toni, sehingga banyak teman-teman kak Toni yang menanyakanku, salah satunya
adalah kak Kevin,
“Toni, sudah lama aku nggak lihat Virda, memangnya dia
kemana? Apa dia kabur lagi?”, tanya kak Kevin,
“kamu ini apa-apaan sih? Siapa juga yang kabur, Virda
sekarang itu lagi sibuk menuntut ilmu, dia harus nerusin kuliahnya yang sempat
terbengkalai dulu!”, jelas kak Toni,
“oh…jadi sekarang Virda kuliah? Pantesan nggak pernah
ketemu!”, sahut kak Gali,
“kalau gitu besok aku mau main ke rumah kamu, aku
kangen sama Virda adek kamu!”, ucap kak Kevin,
“kalau gitu aku juga ikut, gimana kalau kita ajak
teman-teman kita ke rumah kamu? Pasti mereka juga kangen sama Virda!”, tambah
kak Gali,
“wahh….ide bagus tuh, ya udah nanti aku kabarin
semuanya!”, ucap kak Kevin,
“ok, terserah kalian deh! Aku mau makan dulu, mau ikut
nggak?”, tanya kak Toni,
“kalau makan gratis, kita ikut, tapi kalau nggak, ya
maaf, kita nggak bisa ikut!”, ucap kak Kevin, “tenang aja! Gratis kok!”, jawab
kak Toni,
“ yaudah, tunggu apa lagi, ayo!!”, ucap kak Gali.
Keesokan harinya, ketika ku buka tirai jendela
kamarku, aku melihat banyak mobil dan juga motor di depan rumahku, dan beberapa
saat kemudian aku mendengar suara ketukan di depan pintu rumahku, kak Toni yang
saat itu masih mandi, menyuruhku untuk segera membukanya, karena saat itu mama
dan papa sudah berangkat ke kantor, aku segera turun dari kamarku dan membuka
pintu rumah, ketika aku membuka pintu itu, ternyata yang datang adalah
teman-teman kak Toni,
“surprice!!!!”, ucap kak Kevin dan teman-temannya,
Akupun mempersilahkan mereka untuk masuk,
“sebetar ya, aku mau ke dapur dulu, aku mau ambil
minuman dulu”, ucapku,
Akupun segera pergi ke dapur dan segera ku buatkan
minuman untuk mereka semua. Sebelum aku menyuguhkan minuman untuk mereka, aku
memutuskan untuk memanggil Kak Toni yang saat itu masih ada di kamarnya,
“kakak….ada tamu tuh!”, ucapku,
“siapa?”, tanya kak Toni,
“siapa lagi kalau bukan teman-teman kakak, atau
jangan-jangan kakak ini mau ngerjain aku ya?”, tanyaku,
“oh, jadi mereka sudah datang, sekarang cepat buatin
mereka minum dan antarkan minumannya, dan bilangin ke mereka, sebentar lagi
kakak turun!”, ucap kak Toni.
Akupun segera memberikan minumannya dan
berbincang-bincang dengan mereka. Beberapa saat kemudian kak Toni turun dan
ikut nimbrung, rasanya hilang sudah semua masalah.
“Vir, sibuk ya? Kok nggak pernah ikut kakak kamu ke
tempat kerjanya?”, tanya kak Deni,
“iya kak, maaf, aku lupa nggak ngasih kabar ke kalian
semua, kalau sebenarnya sekarang aku sudah mulai nerusin kuliahku yang sempat
terbengkalai waktu itu, jadi aku nggak ada waktu deh buat nemenin kak Toni,
lagi pula semenjak aku terpilih menjadi ketua di organisasi kampusku, aku jadi
tambah nggak ada waktu buat main-main, soalnya aku harus focus pada tugasku”,
jelasku,
“wah…kamu hebat ya!”, ucap kak Yoga,
“oiya, kamu di tunggu Gali di taman rumah, katanya ada
yang mau dia bicarain sama kamu, mendingan sekarang kamu temuin dia gih!”, ucap
kak Yoga,
“baiklah, kalau gitu aku temuin kak Gali dulu ya
kak!”, pamitku pada semuanya.
Akupun segera
keluar menemui kak Gali.
Saat di taman, aku tak menemukan kak Gali, Aku pun terus
mencari kak Gali di taman, tapi nggak ada orang disana. Beberapa saat kemudian
aku mendengar suara kak Gali memangilku,
“Virda, sini…aku mau bicara sama kamu”, akupun segera
menemui kak Gali yang berada di taman koleksi bunga milik mama,
“ada apa kak?”, tanyaku,
“aku mau bicara sesuatu sama kamu!”, jawab kak Gali,
“bicara apa? Memangnya nggak bisa dibicarakan di
dalam?”, tanyaku,
“nggak bisa, karena ini pribadi”, jawab kak Gali,
“oh, yaudah bicara aja!”, kataku
“Vir, bila mungkin sekarang aku merasakan betapa aku
semakin mencintaimu, itu bukan berarti gombal ataupu berlebihan, karena tak
bisa ku pungkiri itulah yang sebenarnya”, ucap kak Gali, “maksudnya???”,
tanyaku bingung,
“aku mencintai kamu Vir, maukah kamu menjadi
kekasihku?”, tanya kak Gali,
“sebelumnya aku minta maaf, bukannya aku nggak mau
menerima cinta kakak, tapi apakah kak Gali mau menjalin hubungan dengan ku,
sementara itu kita jarang ketemu, karena kesibukanku dengan kuliahku! Jujur
saja, sebenarnya aku juga cinta dengan kakak, tapi masalahnya ya cuma itu tadi,
sekarang aku mau tanya, apakah kakak mau menjalin hubungan denganku yang bisa
dibilang mulai susah untuk bertemu?”, tanyaku balik,
“iya aku mau Vir, apakah ini berarti kamu sekarang
sudah terima cintaku?”, tanya kak Gali, dan aku hanya menganggukkan kepalaku,
kini kebahagiaan tengah terpancar di wajah kami.
Saat kembali ke dalam rumah, dan memberi kabar kepada
semuanya bahwa aku sudah jadian dengan kak Gali, tiba-tiba kak Kevin pergi
begitu saja, sementara itu aku nggak tau letak kesalahanku,
“kak Kevin, tunggu!!”, teriakku,
“kenapa kakak pergi? Ada apa kak?”, tanyaku ke kak
Kevin,
“nggak ada apa-apa, aku cuma pengen pulang” jawab kak
Kevin dengan nada cueknya,
Ia pun pergi meninggalkanku dan teman-teman yang lain.
Beberapa saat kemudian haripun mulai sore, satu per satu teman kak Toni pulang,
hingga tak tersisa seorang pun. Ketika semua teman kak Toni pulang, aku
mengajak kak Toni untuk bicara,
“kak, sebenarnya ada apa sih?”, tanyaku bingung,
“nggak tau, tanya aja sama diri kamu sendiri”, jawab
kak Toni cuek.
Aku nggak tau apakah aku salah karena sudah jadian
dengan kak Gali. Dan semenjak aku jadian dengannya, perhatian kak Toni ke aku
mulai berkurang.
1 tahun 8 bulan 29 hari, aku menjalani hubungan dengan
kak Gali. Dan selama itu pula aku kehilangan perhatian dari kakakku dan kak
Kevin. Sampai disuatu ketika aku di utus oleh kampusku untuk mengikuti
perlombaan Jurnalistik ke Madiun, dan hari itu juga aku harus berangkat.
Sebelum aku berangkat, aku meminta izin kepada dosenku agar memberiku sedikit
keringanan untuk berpamitan kepada kakakku. Malam itu juga aku langsung menuju
ke tempat kakakku bekerja. Sesampainya disana, aku melihat kak Toni yang sedang
duduk bersama kak Yoga dan kak Kevin, tapi sepertinya kak Toni tidak
menginginkan kehadiranku. Setelah kak Toni tahu kalau aku ada di tempat
kerjanya, dia berusaha menghindar dariku, akupun segera mengejarnya,
“kakak….tunggu!”, teriakku yang menghentikan langkah
kaki kak Toni,
“ada apa? Kamu nggak tau apa, kalau kakak lagi
sibuk?”, ucap kak Toni dengan nada yang cuek, “iya aku tau, tapi aku mau bicara
sedikit sama kakak”, kataku,
“maaf, kakak nggak punya waktu, kakak banyak kerjaan”,
ucap kak Toni sambil pergi
meninggalkanku,
Air mata mulai tergenang di pelupuk mataku,
“tapi ini penting kak!”, teriakku,
Tapi teriakanku tetap tidak bisa menghentikan langkah
kaki kak Toni,
“segitu marahnya kakak sama aku, sampai-sampai kakak
nggak mendengar penjelasanku, aku kesini hanya ingin minta restu dari kakak,
karena aku harus mengikuti lomba jurnalistik di Madiun, maafkan aku kak!”,
ucapku dalam hati.
Akupun segera
pergi dari lokasi dan segera kembali ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan. Tapi
sebelum keretaku berangkat, aku memutuskan untuk menelfon kak Toni, tapi
handphonenya tidak aktif, akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan ke kak
Gali untuk menyampaikannya kepada kak Toni.
To : kak
Gali
From :
Virda Diandra
Kak, aku
minta tolong ya, tolong sampaikan kepada kak Toni kalau aku harus pergi ke
Madiun untuk mengikuti perlombaan disana, tadi aku sudah mencoba menelfon kak
Toni, tapi Hpnya tidak aktif, maka dari itu aku meminta tolong sama kakak,
tolong sampaikan pesanku ini ke kak Toni.
Setelah pesan terkirim, aku segera mematikan Hpku, dan
akupun berangkat ke Madiun saat itu juga. Tapi karena perasaanku nggak enak,
dan dosenku mendapat telfon dari panitia bahwa perlombaan harus di cancel untuk
beberapa minggu ini. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak pulang, dan tetap
pergi mencari tempat untuk menenangkan hati dan fikiran, dan aku memutuskan
untuk pergi ke kota Bogor.
Beberapa
saat kemudian, aku mendengar kabar bahwa kereta yang seharusnya aku tumpangi
tadi mengalami kecelakaan, dan dipastikan bahwa tidak ada korban yang selamat
dalam kecelakaan tersebut. Aku menghela nafas dan bersyukur karena aku tidak
jadi berangkat hari ini, andaikan aku di berangkatkan hari ini, mungkin saat
ini aku sudah nggak ada lagi. Tapi lain dengan diriku, kak Toni yang tidak tahu
kalau perlombaanku di cancel terlihat sangat shok karena mendengar berita ini,
dia mengira aku berada di kereta itu. Saat itu kak Toni sedang berada di ruang
meeting bersama kak Aji, dan beberapa saat kemudian, asisten kak Toni memangil
kak Toni,
“mas Toni…mas Toni…!!”, teriak kak Ferdy, asisten
kakak,
“ada apa? Kenapa kamu teriak-teriak seperti itu?”, tanya
kak Toni,
“itu lo mas….” Kak Ferdy nggak sanggup meneruskan
kata-katanya,
“kamu minum dulu dan ceritakan apa yang terjadi”, ucap
kak Toni
Kak Ferdy pun segera menghabiskan segelas air putih
yang diberikak kak Toni
“ sekarang kamu cerita, ada apa?”, tanya kak Toni pada
asistennya dengan nada yang bingung, “gini mas, kereta yang di tumpangi adik
mas Toni mengalami kecelakaan, dan mereka semua memastikan bahwa tidak ada
korban yang selamat, karena kereta tersebut terbakar dan meledak”, jelas kak
Ferdy.
Setelah mendengar
penjelasan itu, tubuh kak Toni menjadi lemas dan tak sadarkan diri. Semua
teman-teman kak Toni masih tak percaya dengan kejadian ini, kak Kevin mencoba
menghubungiku, tapi hpku nggak aktif, aku memang sengaja tidak mengaktifkan kartu
SIM-ku, karena di Bogor tidak ada sinyal sama sekali, dan akhirnya aku
memutuskan untuk ganti kartu SIM, dan aku lupa tidak mengabari kak Toni dan teman-temannya.
Saat itu kak Toni dan teman-temannya mengira kalau aku sudah nggak ada, karena
aku menjadi salah satu korban kecelakaan kereta tersebut. Tahlilan pun digelar
setiap hari dirumahku.
Suatu
malam, aku memutuskan untuk kembali pulang, karena aku merasa sudah mulai
sedikit tenang. Saat di perjalanan pulang aku mencoba untuk menghubungi kak
Toni, tapi nomornya tetap nggak aktif, dan aku memutuskan untuk tetap pulang,
ketika aku sampai di depan rumah, rumah itu tampak begitu sepi, seperti nggak
ada yang menghuni. Dan ketika aku mencoba mengetuk pintunya, ternyata tidak ada
jawaban sama sekali. Saat itu aku mulai bingung, kemana aku harus mencari
kakakku, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke tempat kerja kak Toni.
Sesampainya di lokasi, semua orang tampak heran dan takut ketika melihatku,
tapi aku tak menghiraukannya, aku terus mencari kak Toni, hingga aku
menemukannya di dalam ruangannya, aku melihat kak Toni sedang membaca al quran,
akupun mengetuk pintunya. Ketika kak Toni melihatku, dia seperti melihat hantu,
wajahnya begitu ketakutan,
“kak…kakak kenapa?”, tanyaku,
“kamu siapa?”, tanya kak Toni balik,
“aku Virda, adik kakak, kakak kenapa?”, tanyaku lagi,
“kamu nggak mungkin Virda, adikku sudah meninggal dalam
kecelakaan kereta jurusan Madiun, kamu siapa?”, tanya kak Toni lagi,
“ini aku Virda kak, aku belum meninggal”,
Belum sempat aku menjelaskannya, tiba-tiba kak Toni
teriak meminta tolong, sehingga membuat semua orang kumpul menjadi satu dalam
satu ruangan, wajah mereka nggak jauh berbeda dari wajah kak Toni, mereka
terlihat ketakutan,
“kamu siapa?”, tanya kak Kevin,
“kak, ini aku Virda” jawabku,
“nggak mungkin, Virda sudah nggak ada, kalau memang
kamu Virda, tolong jangan ganggu kami, kami sudah memaafkan semua salah kamu”,
ucap kak Kevin,
“kalian ini kenapa sih? Ini aku Virda Diandra, dan aku
masih hidup, kalau kalian nggak percaya kalian bisa lihat kedua kakiku masih
napak di tanah kan? Dan kalau kalian masih belum percaya, majulah, sentuh aku!”
ucapku,
Tiba-tiba kak Gali maju dan menyentuh kedua tanganku,
dan barulah saat itu kak Gali percaya kalau aku masih hidup,
“Virda…ini beneran kamu! Ternyata kamu masih hidup,
kak Toni, ini Virda, dia belum meninggal kak, dia masih hidup, kalau kalian
semua nggak percaya kalian boleh maju dan sentuhlah kedua tangan Virda”, ucap
kak Gali sambil memelukku,
“aku kangen sama kamu Vir!”, ucapnya.
Setelah semua menyentuh kedua tanganku, barulah mereka
semua percaya bahwa aku masih hidup.
Memang
masih ada keraguan di hati mereka tentangku, akupun segera menceritakan
kronologis kejadiannya, dan barulah saat itu mereka semua percaya 100 % kalau
aku memang masih hidup,
“Virda…maafin kakak ya!”, ucap kak Toni,
“sudahlah kak, lupakan itu semua, yang penting
sekarang aku sudah bersama kalian lagi kan?”, ucapku sambil terus memeluk kakakku,
”Jika
malam ini bintang nggak lagi bersinar buatku... Atau esok pagi nafas ini nggak
lagi mampu kuhembus...Tapi aku tahu.. Hati ini punya ruang abadi yang akan
selalu menyimpanmu... Bintang, matahari, hujan dan pelangi... cuma sekedar
hiasan langit dibanding arti kalian dalam hidupku...”, ucapku. Mereka begitu senang dengan kehadiranku.
Karena merasa senang atas kembalinya aku, kak Toni
mengadakan acara syukuran dengan mengundang anak-anak yatim dan juga teman-temannya,
sambil menunggu kak Toni membagikan uang santunan, aku memutuskan untuk
menunggunya di taman rumah, dimana tempat ini menjadi saksi bisu cintaku dengan
kak Gali. Beberapa saat kemudian kak Kevin yang melihatku duduk sendirian
segera menyusulku dan duduk disampingku,
“Virda, kamu ngapain disini sendiri?”, tanya kak
Kevin,
“nggak papa kok kak, aku cuma pengen sendiri aja,
kakak sendiri ngapain disini?”, tanyaku balik,
“oh, aku cuma mau nemenin kamu, biar kamu nggak
kesepian!”, jawab kak Kevin.
Ketika aku sedang asyik ngobrol dengan kak Kevin,
tiba-tiba kak Gali datang dan memarahiku,
“Virda, kamu ngapain disini berduaan dengan Kevin?
Kamu selingkuh ya? Aku nggak nyangka kamu
tega ngelakuin ini sama aku!”, ucap kak Gali dengan nada yang tinggi,
“bukan begitu, aku disini dengan kak Kevin cuma ngobrol biasa….!”,
ucapku,
“halahh…nggak usah terlalu banyak alasan deh, aku tau kalau kamu
juga mencintai Kevin, aku sama sekali nggak nyangka Vir, mulai sekarang kita
PUTUS!!!”, ucap kak Gali sambil meninggalkanku,
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, aku hanya bisa menangis, karena
aku adalah wanita yang lemah. Aku segera mencegah Kak Kevin yang berusaha
menyusul kak Gali untuk menjelaskan semuanya,
“kak, sudahlah….mungkin ini yang terbaik buatku dan kak Gali!”,
ucapku lirih.
Sementara itu kak Kevin berusaha menenangkanku,
“sudahlah, maafin aku, gara-gara aku kamu jadi putus dengan Gali”,
ucap kak Kevin menyesal, “nggak ada yang salah, dan nggak ada yang perlu
dimaafkan, ini sudah menjadi kehendak Allah!”, ucapku yang berusaha tegar.
Semenjak
aku putus dengan Gali, rasanya hidup ini hampa. Mungkin aku ditakdirkan mempunyai
garis wajah yang seperti ini. Garis wajah yang menjelaskan bahwa dibalik
senyuman yang terlukis diwajahku, masih ada air mata yang tergambar jelas. Aku
orang yang selalu bersikap seolah-olah selalu bahagia dan selalu tertawa,
walaupun jiwaku rapuh. Aku tahu jelas dimana tempat aku harus tertawa, tempat
aku bahagia, dan tempat aku meluapkan semua kesedihanku. Aku tahu bagaimana
caranya membuat orang-orang disekitarku bangkit walaupun dengan itu aku harus
jatuh. Mungkin mereka tak begitu mengenalku, benar-benar tak mengenalku. tapi
aku tahu semua tentang mereka. Aku bukan orang yang mudah untuk mengungkapkan
semua kehidupanku, sepercaya apapun aku pada mereka, tapi percayalah, aku tak
bisa menceritakan semua kepahitanku. Bukan karena aku tidak mempercayai
orang-orang disekitarku, tapi aku tak ingin membuat mereka sedih karena ku.
Jika ada orang yang mengatakan seorang sahabat akan selalu ada disaat suka dan
duka, tapi tidak denganku. Aku lebih ingin berbagi kebahagiaan ku bersama
mereka dibanding aku harus melibatkan mereka dalam duka ku. Aku lebih ingin
membuat mereka tersenyum dan bahagia, dibanding aku harus melihat mereka ikut
menangis dan sedih karena ku.
Beberapa bulan setelah aku putus
dengan Gali, aku mendapat kabar bahwa kini Gali telah menemukan penggantiku,
dan tidak lain lagi dia adalah adiknya kak Aji, yaitu Alfi. Betapa hancurnya
hatiku ketika mendengar berita itu, aku tidak menyalahkan Gali, tapi kenapa
harus bersama orang yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri?. Hampir
setiap malam aku meneteskan air mata ketika mengingat tentangnya dan membuatku
bertanya tanya,
“ kenapa dia tega terhadapku..??? kenapa..???
kenapa...???.”
Aku ingin melupaknnya tapi itu sangat sulit bagiku
karena aku terlanjur menyanyangi dan mencintainya, entah kapan aku bisa
melupakannya mengingat kami satu universitas dan pastinya setiap hari kami
pasti bertemu, rasanya aku tak ingin mengenalnya lagi setelah apa yang telah
dia lakukan terhadapku, aku hanya bisa berharap semoga tuhan bisa membantuku
menghapus banyanganya dan bisa melupakannya.
Lambat laun, kak Toni akhirnya sadar
dengan perubahan sikapku yang menjadi pendiam, egois dan keras kepala,
“dek, kamu
kenapa?”, tanya kak Toni,
Aku hanya
tersenyum. Karena merasa bingung dengan perubahan yang terjadi padaku, kak Toni
pun meminta bantuan kepada semua teman-temannya. Suatu hari, semua teman-teman
kakak datang ke rumah termasuk kak Aji, kakak dari kekasihnya Gali, mantanku. Mereka
semua beruasaha menghiburku, tapi tak ada hasil,
“aku harus
gimana lagi nih? Aku bingung!”, ucap kak Toni,
“Toni, sebelumnya aku minta maaf, karena adikku, Virda jadi begini”,
ucap kak Yoga, “sudahlah…kamu jangan terlalu mikirin Virda, nanti biar aku bantu
bicara. Ok!”, ucap kak Kevin.
Sementara itu aku hanya duduk di depan kamarku yang menghadap taman
rumah, aku selalu menatap taman rumah itu, seakan akan aku dapat kembali ke
masa laluku bersama Gali, adik kak Yoga, akupun segera menghapus pikiran itu,
“sudahlah Virda, ngapain sih kamu mikirin orang yang belum tentu
mikirin kamu, kamu nggak boleh seperti ini terus, kamu harus bisa move on, kamu
harus bangkit”, ucapku dalam hati. Akupun segera menghapus air mataku dan
berusaha untuk lebih tegar lagi. Beberapa saat kemudian Tiba-tiba
pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan,
“pasti kak
Toni”, tebakku
“iya,
sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar, ternyata itu adalah kak
Kevin
“ada apa
kak?”, tanyaku,
“Maaf Vir, udah
ganggu kamu, aku cuma mau bicara sama kamu”,
ucap kak Kevin
“ya udah, masuk aja, emangnya mau bicara
apa?”, tanyaku,
“ok!
Langsung saja ya, sekarang aku mau tanya sama kamu, apa kamu nggak kasian sama
kakak kamu yang begitu khawatir dengan perubahan sikap kamu?”, tanya kak Kevin,
“berubah? siapa
juga yang berubah, aku masih Virda yang dulu kok, aku nggak berubah!”, ucapku,
“kok bisa?”,
tanya kak Kevin heran,
Akupun
menjelaskan semuanya,
“tapi Vir,
kalau kamu memang benar-benar nggak bisa move on, aku siap kok buat bantu
kamu”, ucap kak Kevin,
“maksudnya?”,
tanyaku bingung,
“aku mau kok
jadi pelarian kamu, karena aku memang benar-benar mencintai kamu”, jelas kak
Kevin,
“makasih ya
kak! Kalau memang kakak benaran mencintai aku, aku minta tolong buat bantu aku
untuk move on, tapi kakak jangan pernah sakit hati ya! Karena aku tau mungkin
dengan cara seperti ini, aku bisa belajar untuk mencintai kakak, seperti kakak
mencintaiku”, ucapku.
Saat itu aku melihat senyum di wajah kak Kevin,
“yaudah, kalau
gitu kita keluar yuk!”, ajaknya.
Aku dan kak
Kevin segera melangkah keluar kamar dan menemui kak Toni dan teman-temannya.
Setibanya di ruang keluarga, aku berlari ke arah kak Toni dan memeluknya,
Setibanya di ruang keluarga, aku berlari ke arah kak Toni dan memeluknya,
“maafin aku
ya kak! Udah buat kakak khawatir”, ucapku,
“iya nggak
papa, kamu kok bisa berubah begini? Kenapa?”, tanya kak Toni,
“iya, aku
akan belajar move on, dan aku juga akan belajar untuk mencintai kak Kevin!”,
jelasku, “alhamdulillah…”, ucap kak Toni yang barengan dengan semua
teman-temannya,
“kalau gitu
aku pamit keluar dulu ya kak, aku mau keluar sama kak Kevin!”, ucapku,
Kak Toni
hanya menjawabnya dengan senyum manisnya.
Aku dan kak
Kevin segera pergi. Saat itu kak Kevin mengajakku ke suatu tempat yang sangat
indah, dimana di tempat itu membuat hatiku sedikit tenang dan bisa membuatku
untuk melupakan masalah yang ada, meskipun nggak secara langsung,
“kak, tempat
ini indah banget!”, ucapku sambil merentangkan kedua tanganku dan menghirup
udara yang masih segar,
“iya, tempat
ini memang indah, kamu tau nggak, kalau di tempat ini kita bisa melepaskan
masalah yang sedang kita hadapi!”, ucap kak Kevin,
“kok bisa?
Emangnya gimana caranya?”, tanyaku,
“kamu teriak
aja sekeras kerasnya, karena nggak ada yang dengar kok, nanti setelah teriak,
coba kamu rasakan perubahannya”, jelas kak Kevin,
“yang bener?
Aku nggak percaya”, kataku,
“kalau kamu
gak percaya sekarang coba deh kamu teriak”, ucap kak Kevin.
Tanpa
menunggu banyak, aku segera teriak sekencang mungkin, berkali-kali aku teriak,
hingga membuat suaraku menjadi hampir habis, tapi apa yang dikatakan kak Kevin
tadi benar, bebanku mulai sedikit berkurang,
“makasih ya
kak, sekarang aku udah sedikit lega, karena bebanku sedikit berkurang”, ucapku,
“iya sama-sama, udah sore nih, pulang yuk! Lain waktu kita kesini lagi”, ucap
kak Kevin.
Kamipun
segera menuju mobil dan pulang.
Setelah sampai di depan rumah, aku
melihat kak Toni yang sedang duduk di teras depan rumah, sepertinya dia sedang
menungguku, aku dan kak Kevin segera turun dari mobil dan menuju ke tempat kak
Toni, kak Toni langsung berdiri ketika melihatku dan kak Kevin yang sedang
berjalan ke arahnya,
“darimana
aja sih? Kok baru pulang?”, tanya kak Toni,
“ada deh?
Keppo banget sih!”, jawabku cengengesan,
“yaudah,
sekarang kamu cepat masuk dan mandi, habis itu langsung istirahat ya!”, ucap
kak Toni,
“siap kak!!
Kak Kevin, aku masuk dulu ya! makasih buat hari ini”, ucapku pada kak Kevin,
“iya,
sama-sama”, balasnya.
Akupun
segera masuk ke dalam rumah. Sementara itu kak Toni dan kak Kevin masih asyik
ngobrol di luar,
“Vin,
makasih ya udah buat adekku tersenyum lagi!”, ucap kak Toni,
“iya
sama-sama”, balas kak Kevin,
“kamu memang
sahabat terbaikku”, ucap kak Toni.
Karena hari
sudah mulai malam, kak Kevin memutuskan untuk pulang,
“Toni, aku
pulang dulu ya! Udah malem nih!”, pamit kak Kevin,
“ok, hati-hati
di jalan!”, ucap kak Toni,
“sipp, salam
ya buat Virda!”, tambah kak Kevin,
“tenang aja,
pasti aku sampein kok”, jawab kak Toni,
“yaudah aku
pamit dulu ya! Bye”, pamit kak Kevin, dan perlahan bayangannya mulai menghilang
dari hadapan kak Toni.
2 bulan 14 hari, aku lepas dari Gali
dan menjalani hari-hariku bersama kak Kevin.
Bisa dibilang kalau aku sekarang udah sedikit move on dari Gali, dan ini
semua berkat kak Kevin, dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Entah kenapa
sejak tadi sore, badanku terasa sakit semua, mungkin aku terlalu lelah karena
terlalu banyak tugas yang harus aku kerjakan. Saat ini aku masih ada di ruang
tamu tepat di depan laptopku, sementara itu jam menunjukkan pukul 23.13, sudah
hampir 6 jam lebih aku di depan laptopku ini, aku berusaha untuk tetap setia
berada di depan laptopku untuk mengerjakan tugas sambil menunggu kak Toni
pulang kerja meskipun kepalaku terasa sangat pusing, dan beberapa saat kemudian
aku tertidur sementara itu laptopku masih menyala.
Beberapa saat kemudian kak Toni pulang.
Saat itu aku tau kak Toni sudah pulang, karena aku masih bisa mendengar
suaranya yang mengomeliku karena laptopku masih menyala, sementara itu, aku tak
bisa mengangkat kepalaku sama sekali, rasanya kepalaku begitu berat. Kak Toni
pun berusaha untuk membangunkanku,
“dek,
bangun!! Kok masih disini sih? Kalau tidur itu laptopnya di matiin, jangan
dibiarkan menyala terus, sekarang ayo bangun!”, ucap kak Toni sambil meletakkan
jasnya di kursi, “dek…kamu kenapa?”, tanya kak Toni khawatir, sementara itu aku
tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kakakku. Ketika kak Toni mendekatiku
dan berusaha untuk membangunkanku, saat itu juga kak Toni sadar kalau aku
sakit,
“dek, ya
Allah badan kamu panas banget!”, ucap kak
Toni,
Tanpa banyak pikir kak Toni segera membawaku ke kamar dan
mengompresku. Kak Toni mencoba membangunkan mama dan papa tapi mereka nggak mau
tau apa yang terjadi. Akhirnya Kak Toni memutuskan untuk merawatku sendiri
sampai dia tertidur karena mungkin kelelahan.
Keesokan
harinya, demamku belum turun juga, akhirnya kak Toni
memutuskan untuk membawaku ke Rumah Sakit. Sampai di Rumah Sakit, kak Toni segera meminta izin kepada Direkturnya untuk off hari ini karena harus merawatku di
Rumah Sakit. Setelah mendapat izin dari direkturnya, kak Toni langsung melihat keadaanku di ruang ICU, dan
saat itu aku masih belum sadarkan diri. Beberapa saat kemudian, semua
teman-teman kak Toni datang
untuk membesukku,
“Toni, gimana
keadaan Virda?”, tanya kak Kevin
khawatir,
“dia belum sadarkan diri”, jawab kak Toni dengan nada yang lemas.
Sementara itu teman-teman yang lain bergantian
untuk melihat kondisiku di ruang ICU. Beberapa saat kemudian kak Toni dan kak Yoga masuk keruanganku
dirawat dan sholat di samping ranjangku, aku mendengar kak Toni dan kak Yoga berdoa untukku,
“Ya Allah…di atas hamparan
sajadah ku berdoa untuknya, aku meminta kesembuhan untuk dia yang ku sayangi, dia yang ku cintai, air mataku
selalu menetes bila ku tau dia sedang menahan sakitnya, aku tau dia sedang
berjuang bertahan hidup demi janji nya padaku,
aku tau dia sedang merintih kesakitan, tapi aku pura-pura tidak tau karena aku tidak mau menambah luka nya, aku tidak mau dia tau kalau aku menangis disini, aku mau dia selalu tersenyum tanpa tau aku juga disini sakit melihat dia menahan sakit nya, Berikan pada nya kesembuhan ya Allah. Aku ingin selalu melihat senyuman manis nya, Aamiin Ya Rabbal Alamin”.
aku tau dia sedang merintih kesakitan, tapi aku pura-pura tidak tau karena aku tidak mau menambah luka nya, aku tidak mau dia tau kalau aku menangis disini, aku mau dia selalu tersenyum tanpa tau aku juga disini sakit melihat dia menahan sakit nya, Berikan pada nya kesembuhan ya Allah. Aku ingin selalu melihat senyuman manis nya, Aamiin Ya Rabbal Alamin”.
Usai menunaikan ibadah sholat tahajud, kak Toni segera mencium keningku,
“sadar dek! Cepat sembuh, ada kakak disini”, ucap kak Toni,
Mungkin saat itu Allah telah mengabulkan semua doa kak Toni, tidak lama
setelah kak Toni sholat, Allah memberiku kesempatan untuk bisa melihat kakakku
dan yang lainnya.
Seminggu sudah aku
menjalani perawatan secara intensif di Rumah Sakit, rasanya bosan sekali jika
setiap hari harus makan makanan yang hambar dan selalu minum obat, kini
keadaanku berangsur-angsur mulai membaik dan dokterpun mengizinkan aku untuk
pulang, dengan syarat aku harus istirahat yang cukup dan nggak terlalu banyak
fikiran. Akupun menyetujui persyaratan yang diajukan Dokter untukku, dan kini
kak Toni membantuku untuk mengemasi barang-barangku, karena hari ini juga aku
diizinkan untuk pulang. Beberapa saat kemudian aku telah sampai di rumahku,
tapi aku tidak melihat mama dan papa sama sekali,
“kak mama sama papa kemana?”, tanyaku,
“kakak juga nggak tau, kan kakak nggak pernah pulang?”, jawab kak Toni,
“yaudah sekarang kamu istirahat gih!”, ucap kak Toni,
Tanpa banyak bicara karena aku juga masih pusing, akupun segera
istirahat di kamarku.
Keesokan harinya, aku
masih melihat kak Toni yang sedang membuatkanku sarapan di dapur,
“kakak…kok belum berangkat?”, tanyaku,
“berangkat kemana?”, tanya kak Toni balik,
“ya berangkat kerja lah, udah 1 minggu lebih loh kakak nggak kerja, kan
kasian teman-teman kakak!”, ucapku,
“kakak nggak kerja dulu dek, nanti kalau kakak kerja, siapa yang merawat
adek?”, jelas kak Toni,
“ya ampun kak! Aku kan udah sembuh, cuma tinggal pusing aja, udah
sekarang kakak berangkat kerja gih!”, pintaku,
“tapi gimana dengan adek?”, tanya kak Toni lagi,
“udahlah kak, nggak usah mikirin aku, aku bisa kok jaga diriku sendiri”,
jawabku,
“beneran nih? Kalau gitu kakak berangkat dulu ya? Nanti kalau ada
apa-apa, kamu telfon kakak ya?”, ucap kak Toni,
“baiklah!”, ucapku,
“kalau gitu kakak berangkat dulu ya. Bye!”, ucap kak Toni dan perlahan
bayangannya menghilang dari hadapanku.
3 hari kemudian,
kondisiku mulai membaik, rasa kangen menyelimuti diriku, ingin sekali aku ikut
kak Toni ke tempat kerjanya dan bertemu dengan yang lainnya, tapi rasanya itu
tidak mungkin, karena kepalaku masih terasa sedikit pusing. Beberapa saat
kemudian kak Toni masuk ke kamarku,
“dek, hari ini adalah hari ulang tahunnya kak Kevin, apa kamu nggak mau
ikut kakak pergi ke tempat kerja?”, tanya kak Toni,
“apa? Hari ini adalah ulang tahunnya kak Kevin, ya Allah…aku harus
gimana nih?”, ucapku dalam hati,
“dek, kok bengong sih? Adek mau ikut apa nggak?”, tanya kak Toni,
“emmm… sepertinya aku nggak bisa ikut kak, kepalaku masih sedikit pusing,
salam aja ya buat kak Kevin”, jawabku,
“baiklah kalau gitu, kakak berangkat dulu ya!”, ucap kak Toni sambil
meninggalkanku sendirian di dalam kamar.
Setelah kupikir-pikir, rasanya nggak sopan jika
aku nggak hadir dalam acara ulang tahun kak Kevin, karena berkat dialah aku
bisa sedikit move on dari Gali, akupun memutuskan untuk datang ke tempat kerja
kak Toni, tanpa mengabari siapapun.
Setibanya disana,
sepertinya semua teman-teman kak Toni sudah berada di ruangan lain untuk
persiapan surprice di hari ulang tahun kak Kevin. Aku memutuskan untuk
memanggil kak Ferdy, asisten kak Toni,
“kak, sini deh!”, ucapku pada kak Ferdy,
“eh Virda, kamu sudah sembuh ya?”, tanya kak Ferdy,
“iya alhamdulillah, kak nanti kan ada kejutan buat kak Kevin, nah nanti
ketika semua orang udah ada di dalam ruangan, tolong kakak matiin lampunya,
terus kakak panggil aku, tapi ingat jangan panggil namaku.ok!”, jelasku pada
kak Ferdy,
“ok, sipp!”, jawabnya.
Dan beberapa saat kemudian ketika semua orang sudah berada di dalam
ruangan, tiba-tiba lampu padam, dan saat itu juga aku datang untuk membawa kue,
dan ketika lampu dinyalakan, semua teman-teman kak Toni terlihat begitu kaget
dengan kehadiranku termasuk kak Kevin,
“happy birthday ya kak, Selamat ulang tahun!, semoga hari harimu
kedepan lebih bahagia dan penuh harapan, meski ada sedikit rintangan anggaplah itu hanya
suatu cobaan untuk semakin menguatkan imanmu, sekali lagi Happy Birthday. Semoga segala kebaikan
menyertaimu i
wish you all the best...",
ucapku pada kak Kevin,
“Virda…kata kakak kamu tadi, kamu masih sakit, kok sekarang kamu udah ada
disini sih?”, tanya kak Kevin bingung,
“iya, sebenarnya aku masih sedikit pusing, tapi nggak papalah, masak
ulang tahun kak Kevin yang cuma 1 tahun sekali aku nggak datang sih? Kan nggak
sopan!”, ucapku,
“makasih ya Vir”, ucap kak Kevin. Kemudian semua teman-teman kak Kevin
secara bergantian mengucakan selamat kepada kak Kevin.
Beberapa saat kemudian,
sebagai kado buat kak Kevin, kak Toni sengaja memainkan sebuah lagu yang
membuat kak Kevin meneteskan air mata, aku nggak tau kenapa dia sampai
meneteskan air mata itu, mungkin lagu itu mempunyai arti tersendiri di hatinya.
Usai menyanyikan lagu buat kak Kevin, tiba-tiba salah satu guru ngaji kak Kevin
yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri datang.
“Tiada doa yang bisa kupanjatkan Selain doa semoga
panjang umur dan bahagia, semoga akal semakin luas dan cerdas, semoga hati semakin bersih dan
bijak, semoga jasad semakin cekatan dan terampil dalam berbuat kebajikan.... selamatt Milad anakku, sucikan diri
dengan wudhu”, ucap guru ngajinya
kak Kevin yang belakangan aku tau kalau namanya adalah ustad Ahmad, setelah memberi
doa buat kak Kevin, ustadz Ahmad memberikan sedikit tausyiah kepada semua
teman-teman kak Kevin dengan tema doa ibu
adalah doa paling mustajab, aku hanya bisa mendengarkan ketika ustadz
menyampaikan tausyiahnya. Beberapa saat kemudian semua ibu dari teman-teman
kakak datang, dan semuanya meminta maaf kepada ibunya masing, ketika semua
orang sedang menjemput ibunya masing-masing, aku dan kak Toni hanya bisa
melihat kebahagiaan yang tersirat di mata mereka, rasanya aku sudah tak sanggup
menahan air mataku ini, karena aku tak sekuat batu karang yang ada di lautan,
ketika ustadz Ahmad melihatku yang sedang menangis, ia segera menghampiriku
yang saat itu sedang berdiri berdua dengan kak Toni dan menjauh dari yang
lainnya. Karena dari sekian banyak pekerja yang ada, hanya aku dan kak Toni
yang tidak mendapatkan kasih sayang yang tulus dari seorang ibu.
Ketika semua orang
memeluk ibunya masing-masing, aku dan kak Toni hanya bisa diam, meskipun kadang
aku iri melihat kebersamaan mereka,
“kalian kenapa menjauh dari teman-teman kalian? Ibu kalian mana?”, tanya
ustadz Ahmad,
“ibu kami sibuk dengan pekerjaannya, beliau nggak ada waktu buat kami”,
jawab kak Toni, sementara itu aku hanya bisa menangis dan menangis, suasana
yang awalnya haru biru tiba-tiba berubah menjadi hening ketika ustadz Ahmad
membawaku dan kakakku ke tengah ruangan, “maaf sebelumnya, apa yang membuat
kamu menangis sampai begini? Bukankah kamu masih mempunyai seorang ibu?”, tanya
ustadz Ahmad padaku,
Sementara itu aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena aku terlalu
sedih, akhirnya ustadz Ahmad memutuskan untuk merelaksasiku dan kak Toni,
“Virda, apa yang membuat kamu menangis seperti ini?”, tanya ustadz Ahmad,
“saya sedih ustadz, karena selama ini saya nggak pernah mendapat kasih
sayang dari seorang ibu”, jawabku,
“memangnya ibu kamu kemana?”, tanya ustadz Ahmad kembali,
“mama ada di rumah, tapi beliau nggak mau mengakui saya sebagai anaknya,
karena baginya saya ini adalah anak pembawa sial”, jelasku,
“kalau kamu ingin mengatakan sesuatu buat mama kamu, apa yang ingin kamu
katakan?”, tanya ustadz Ahmad,
“ma….sebenarnya apa salahku? kenapa mama begitu membenciku? Ma, aku
sayang mama, aku ingin mama ada disaat aku benar-benar membutuhkan mama,
pernakah mama khawatir atas keadaanku? Pernakah mama merasa iba atas diriku?
Aku hanya ingin satu ma, sayangi aku seperti mama menyayangi kakak, dan jangan
pernah membenci kakak hanya karena mama benci terhadapku, hanya itu ma!”,
ucapku
Beberapa saat kemudian aku sudah sadar dan bebas dari pengaruh relaksasi,
sementara itu kak Toni masih dalam pengaruh relaksasi,
“Toni, apa yang membuatmu menangis?”, tanya ustadz Ahmaad,
“saya sedih melihat perlakuan mama kepada saya dan adik saya”, jawab kak
Toni,
“bisa kamu ceritakan semua kejadian yang membuatmu sedih?”, tanya ustadz
Ahmad,
“setiap hari, mama dan papa selalu bertengkar, dan pertengkaran itu
terjadi ketika adek kembali ke rumah, aku nggak menyalahkan adekku, aku hanya
sedih kalau melihat adekku yang kadang memanggil-manggil mama ketika adek
tertidur, mama memang menyayangiku, tapi aku ingin mama juga menyayangi adek
seperti mama menyayangiku, bahkan ketika aku mengabari mama kalau adek sakit,
mama nggak mau tau tentang itu, dan kini mama membenciku karena aku selalu
membela adekku, aku hanya kasihan sama adek, sejak dia tinggal bersama kami,
dia nggak pernah merasakan gimana rasanya disayang, diperhatikan oleh mama
kandungnya sendiri, terkadang adek cerita ke aku kalau dia iri sama
teman-temannya yang begitu disayang sama mamanya, tapi mau gimana lagi, sampai
sekarang mama terus bersikap kasar sama adek”, jelas kak Toni,
“kalau seandainya ada mama kamu disini, apa yang ingin kau sampaikan?”,
tanya ustadz Ahmad, “ma…tolonglah ma, jangan main kasar lagi sama adek, mama
nggak kasihan sama adek? Dia butuh mama, dia butuh kasih sayang mama, kami
butuh mama karena kami sayang sama mama meskipun mama nggak pernah tau itu”,
ucap kak Toni,
Beberapa saat kemudian kak Toni terbangun dari pengaruh relaksasi, kini
aku bisa merasakan apa yang kak Toni rasakan.
Tiba-tiba handphone ku
berdering, dan ada telfon masuk, aku segera mengangkat telfon itu, ternyata itu
adalah telfon dari dosenku, beliau bilang kalau besok pagi aku harus berangkat
ke Madiun untuk mengikuti lomba. Ketika kak Toni mendengar semua itu, dia
berusaha mencegahku untuk tidak pergi, karena dia takut kejadian yang sempat
terjadi beberapa waktu silam akan terjadi padaku, aku tau kalau kak Toni masih
sedikit trauma dengan kecelakaan kereta yang hampir membuatnya kehilanganku,
tapi aku nggak bisa membatalkan semua ini, “dek, kakak mohon, jangan pergi!”,
ucap kak Toni,
“maafin aku kak, kali ini aku nggak bisa, aku harus pergi, ini semua
demi kita”, ucapku,
Akupun berusaha menjelaskan semuanya pada kak Toni dan juga yang
lainnya, aku pergi bukan untuk kepentingan pribadi, tapi ini semua untuk kita.
Saat itu suasana menjadi campur aduk, antara sedih, haru, bahagia menjadi satu.
Saat itu ketika jam istirahat, aku memutuskan untuk pulang, karena aku harus
istirahat secukupnya,
“kak, aku pulang dulu ya!”, ucapku pada kak Toni,
“iya, maaf kakak nggak bisa antar kamu pulang, karena pekerjaan kakak
belum selesai”, ucap kak Toni,
“iya nggak papa kok, aku duluan ya! bye”, ucapku sambil berjalan menuju
pintu keluar.
Aku melihat kesedihan di mata kakakku dan juga teman-temannya, tapi mau
gimana lagi? Aku harus konsisten dengan apa yang seharusnya aku lakukan.
Sesampainya di rumah,
aku nggak melihat mama dan juga papa, mungkin mereka belum pulang, aku segera
mengemasi barang-barangku yang harus aku bawa besok pagi, sebenarnya aku ingin
pamitan sama mama dan juga papa, tapi ku rasa itu nggak mungkin, akhirnya aku
memutuskan untuk menulis sebuah surat buat mama dan papa.
To : mama dan papa
From : Virda Diandra
Ma, pa, maaf kalau Virda kurang
sopan karena harus berpamitan lewat sepucuk surat ini, Virda Cuma ingin meminta
doa restu dari mama dan papa supaya Virda diberi kelancaran dalam perlombaan
besok yang akan di selenggarakan di Madiun. Maaf kalau Virda hanya bisa
menyampaikannya lewat surat ini, karena Virda tau, mama dan papa nggak punya
banyak waktu untuk Virda. Sekali lagi Virda minta doanya.
salam
sayang
Virda Diandra
Usai menulis surat itu, segera kuletakkan di meja kamar mama dan papa,
sesampainya ku di kamar mama dan papa, ketika ku lihat isi kamar itu, aku nggak
melihat satu foto pun yang terpasang di dinding kamar, yang ada hanya foto
pernikahan mama dan papa, bahkan fotoku dan foto kakakku nggak ada di kamar
mama dan papa,
“ma, pa, segitu bencinya kalian sama aku dan kak Toni, hingga tak ada
satu fotopun yang terpampang di kamar kalian, maafin aku ma, pa, gara-gara aku,
mama dan papa kini membenci kak Toni, maaf ma, pa!”, ucapku dalam hati.
Akupun segera pergi dari kamar mama dan papa dan segera menuju ke kamar
untuk istirahat.
Keesokan harinya, aku
dan kak Toni segera berangkat menuju stasiun. Ketika aku sedang menunggu
dosenku, aku melihat kak Kevin dan teman-temannya berjalan ke arahku. Ternyata
mereka semua ingin mengantarkan kepergianku,
“makasih ya, udah datang”, ucapku,
“iya sama-sama”, jawab kak Deni.
Beberapa saat kemudian dosenku datang dan mengajakku untuk segera masuk
ke dalam kereta, akupun segera mengikuti langkah dosenku, ketika aku berada
tepat di tengah-tengah stasiun, aku membalikkan badanku dan berharap mama dan papa
datang untuk mengantarkanku, tapi mungkin itu hanya mimpi yang semu, karena
mama dan papa nggak akan datang dan bahkan tidak akan pernah datang. Akupun
melanjutkan perjalananku dan masuk ke dalam kereta, perlahan bayangan kak Toni
dan juga yang lainnya menghilang dari hadapanku.
Hampir 1 minggu lebih
aku berada di kota orang, dan hari ini adalah momen terindah dalam hidupku,
karena di hari ini, aku dinyatakan sebagai pemenang dalam lomba jurnalistik,
ingin rasanya aku memeluk mama, papa, kak Toni, tapi itu nggak mungkin. Ketika
salah satu juri yang berasal dari kampus lain menanyaiku,
“untuk siapa piala kemenanganmu ini?”, tanya juri yang berasal dari
kampus negeri itu,
“piala ini aku persembahkan buat mama, papa, kak Toni, kak Kevin dan
semuanya, and special this is for you mom, I love you!”, ucapku.
Ketika berita kemenanganku di angkat oleh berbagai media, dan mereka
memberitakan secara langsung kemenangan itu, bahwa untuk perlombaan jurnalistik
tahun ini dimenangkan oleh Virda Diandra perwakilan dari salah satu kampus
ternama di Bandung. Senang rasanya karena bisa membawa nama kota kembang dalam
perlombaan ini. Beberapa saat kemudian, mataku menjadi kabur, dan aku terjatuh
tidak sadarkan diri. Dosenku segera membawaku ke Rumah Sakit dan segera mangabari
keluargaku. Para dokter menyatkan bahwa aku mengidap kanker otak. Saat kak Toni
tau kalau aku sakit dan harus di rawat di Madiun, kak Toni sangat shok, “maaf
pak, kami dari keluarga Virda Diandra tidak mengizinkan Virda Diandra dirawat
disana, dan kami ingin merawatnya sendiri”, ucap kak Toni,
Karena keluargaku tidak setuju kalau aku dirawat di sini, akhirnya
dosenku memutuskan untuk membawaku pulang ke Bandung.
Sesampainya di Bandung,
kak Toni dan teman - temannya segera membawaku ke rumah sakit, karena kondisiku
yang sangat lemah, akhirnya para dokter sepakat untuk mengoperasiku untuk
mengangkat sel-sel kanker yang ada di otakku. Usai operasi berlangsung,
kondisiku berangsur-angsur pulih, ketika aku membuka mataku aku orang yang
pertama kali ku lihat adalah mama, aku sama sekali nggak nyangka kalau mama
akhirnya peduli terhadapku, aku hanya bisa tersenyum melihat mama, karena saat
itu aku masih belum punya kekuatan untuk berbicara. Beberapa minggu kemudian
mama memutuskan untuk membawaku pulang dan merawatku di rumah, aku begitu
bahagia mendengar kabar itu meskipun harus menahan sakit, tapi aku sangat
bahagia. Kini aku dan kak Toni bahagia, karena mama dan papa kembali
menyayangiku dan juga kak Toni, kebahagiaanku terasa lebih sempurna.
Semenjak aku sakit,
mama selalu memberi perhatiannya kepadaku, tapi ketika aku sembuh, mama kembali
seperti mama yang dulu, ia mulai acuh dengan keadaanku, kalau seandainya aku
tau, mungkin aku lebih memilih untuk terus sakit, meskipun terasa nggak enak.
Beberapa saat kemudian aku melihat kak Toni yang sedang mengejar mama dan papa,
saat itu pertengkaran hebat terjadi antara mama dan papa, sehingga membuat mama
dan papa pergi, kakak berusaha mencegahnya, tapi nggak berhasil, mama dan papa
tetap memilih pergi dari rumah.
“Ma,
pa andai kalian tau bahwa aku tak menyesal mengenal
mama dan papa, aku tak pernah salah menyayangi kalian, karna semua indah
bagiku, karna semua menjadi pelajaran berarti buat diriku dan juga kakak. Cinta
mama dan papa memang tak dapat ku miliki, kasih sayang kalian memang tak bisa
hadir di hati, namun hanya satu yang pasti, aku tak kan pernah ingkari janjiku,
untuk membuat mama dan papa kembali menyangi kami. Tapi aku kecewa, kalian
pergi tanpa kata, tanpa sedikitpun merasa iba, dengan apa yang sedang aku dan
kak Toni rasakan. Jika memang ini mau mama dan papa. Aku beserta kak Toni
ikhlas menerima keputusan kalian”.
Beberapa saat kemudian setelah mama dan papa pergi, kak Toni kembali ke
kamarku dengan muka yang begitu sedih, aku tau bagaimana persaan kakakku saat
ini, karena aku juga merasakannya,
“kak, biarkanlah mama dan papa pergi, mungkin mereka ingin mencari jalan
tengah dari masalah yang mereka hadapi tanpa ada kita yang bagi mereka adalah
seorang pengganggu, dan mereka pasti tau mana yang lebih baik untuk kita
daripada kita, sebaiknya kita berdoa saja buat mama dan papa, semoga mereka
selalu berada di jalan yang benar dan di lindungi Allah!”, ucapku pada kak Toni,
“kamu tegar banget sih dek, kakak kagum sama adek” ,ucap kak Toni,
“disini aku bisa tegar karena kakaklah yang membuatku tegar, kak!
Perasaanku kok nggak enak ya?”, ucapku pada kak Toni,
“iya dek, perasaan kakak juga nggak enak, tapi mungkin ini karena kita
terlalu lelah, lebih baik kita istirahat ya!”, ucap kak Toni,
Akupun segera meletakkan kepalaku di atas bantal boneka pemberian
kakakku, sementara itu kak Toni tidur diatas sofa samping ranjang tidurku.
Belum sampai aku dan kak Toni memejamkan mata, tiba-tiba telfon rumah berdering,
kak Toni segera pergi ke ruang keluarga untuk mengangkat telfon tersebut, akupun
segera menyusulnya meskipun kepalaku terasa sangat sakit. Ketika aku melihat
raut muka kak Toni yang terlihat sangat tegang dan shok, akupun memutuskan
untuk menanyakan apa yang terjadi kepadanya,
“kak, telfon dari siapa?”, tanyaku polos,
“dari polisi dek”, jawab kak Toni,
“kok dari polisi? Memangnya ada apa?”, tanyaku bingung,
“mama sama papa kecelakaan, mobilnya masuk ke jurang”, jawab kak Toni
dengan mata yang berkaca-kaca sambil meletakkan telfon ke tempat semula dengan
keadaan yang sangat lemas. Dan tanpa banyak bicara, kakak segera mengajakku
untuk segera pergi ke tempat kecelakaan.
Betapa hancur hatiku dan juga hati kak Toni ketika kami melihat mobil
yang di tumpangi mama dan papa meledak di tengah jurang. Polisi memastikan
bahwa korban tidak dapat diselamatkan. Saat beberapa polisi membawa jasad mama
dan papa ke samping jalan, aku dan kak Toni segera menghampirinya. Kakak sangat
terpukul dengan kejadian ini, “mama…papa…bangun ma, pa!”, teriak kak Toni
diikuti air mata yang terus membasahi pipinya,
“mama…papa”, ucapku lirih,
“ya Allah, kenapa secepat ini Engkau ambil kedua orang tua kami? Kenapa
harus secepat ini? Kami belum bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tua
kami!”, ucap kak Toni yang belum bisa menerima kenyataan pahit ini.
Polisi memutuskan untuk segera membawa jenazah mama dan papa ke Rumah
Sakit untuk di otopsi. Sementara itu aku berusaha menenangkan kak Toni,
meskipun perasaanku sangat terpukul dengan kejadian ini. Aku memutuskan untuk
mengajak kakak pulang.
Gema surat yasin dan tahlil berkumandang di rumah mama dan papa, rumah
yang belum seutuhnya menjadi milikku dan kak Toni. Kini, rumah itu menjadi
sunyi. Kakak yang dari tadi sore nggak mau keluar kamar membuatku semakin
khawatir. Aku tau, kak Toni sangat menyayangi mama dan juga papa, begitu juga
denganku. Tapi aku berusaha untuk kuat dan tegar, meskipun hatiku begitu rapuh.
Dari kejauhan, aku melihat kak Kevin dan juga teman-temannya berjalan menuju ke
arahku,
“Vir, kami turut berduka cita ya atas meninggalnya mama dan papa kamu!”,
ucap kak Kevin, “kamu yang sabar ya!”, tambah Gali,
“oiya, kakak kamu mana? Kok nggak kelihatan?”, tanya kak Yoga,
“kakak nggak mau keluar kamar dari tadi sore, mungkin kakak belum siap
menghadapi kenyataan ini, kalau kalian mau ketemu dengannya, silahkan, dia ada
di kamarnya!”, jelasku, “kalau gitu, kami semua ke kakak kamu dulu ya!”, ucap
kak Yoga,
“iya kak, kalau bisa, tolong bujuk kakak, supaya dia mau keluar kamar”,
pintaku.
Kak Yoga dan teman-temannya segera menuju ke kamar kak Toni dan berusaha
membujuknya agar dia mau keluar kamar. Karena sebentar lagi kita semua akan
mengantarkan mama dan papa ke peristirahatan terakhirnya.
Awan berselimut mendung mengiringi kepergian mama dan papa, hanya isak
tangis yang dapat aku dengar dari kak Toni dan teman-teman dari mama dan papa.
Aku berusaha untuk menenangkan kak Toni, meskipun hatiku sendiri merasakan apa
yang kak Toni rasakan, tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Usai mengantarkan
mama dan papa ke peristirahatan terakhirnya, dengan berat hati aku dan kak Toni
melangkah pergi dari pemakaman itu. Mama dan papa memang sudah pergi dari dunia
ini, tapi mama dan papa tidak akan pernah pergi dari hatiku dan kak Toni. Waktu
terasa begitu singkat, rasanya baru saja kemarin aku bertemu dengan keluarga
kandungku, kini aku harus rela kehilangannya untuk yang kesekian kalinya.
“Tuhan….kuatkan aku!”, jeritku dalam hati.
Kak Toni begitu terpukul dengan kejadian ini, sehingga membuat senyum
manisnya hilang. Aku sedih melihat perubahan sifat kak Toni, tapi apa yang
harus aku lakukan? Mungkin aku harus membawanya pergi untuk sementara waktu.
Meskipun aku nggak pernah merasakan bagaimana rasanya disayang dan
dicintai oleh mama dan papa, aku akan tetap bersyukur, karena Allah masih
mengizinkan aku untuk bertemu dengan orang tua kandungku, termasuk kakakku,
walaupun itu semua terasa begitu singkat. Aku tau, mama dan papa tidak pernah
menganggapku sebagai seorang anak, tapi aku akan tetap menyayangi kalian. Kalian
tahu, aku tak bisa lagi melangkah untuk mendekati kalian. Aku telah kehilangan
cinta dari orang yang paling kucintai, dan di hari ini, hari indah ini aku
sangat merindukan kalian. Jalanan terasa begitu sepi, Rumah terasa kosong,
Terasa ada lubang di hatiku, Aku sendiri, semua ruang terasa semakin sempit,
aku bertanya-tanya bagaimana semua terjadi? Kenapa semua bisa terjadi? Aku
bertanya-tanya dimanakah hari-hari kebersamaan kita, meskipun aku tak pernah
kalian anggap, tapi aku akan tetap
bertahan untuk merengkuh cinta yang tampak begitu jauh. Maka kupanjatkan
doa dan berharap mimpi-mimpiku kan membawaku ke sana, ke tempat di mana langit
biru membawa kalian pergi, karena aku ingin bertemu dengan kalian sekali lagi,
mama…papa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar