Senin, 23 November 2015

IKHLASKAN KEPERGIANKU

IKHLASKAN KEPERGIANKU Pagi yang indah, suara burung kenari yang bertengger di depan jendela kelasku, hari yang indah, suasana kelas yang sedang kosong membuatku dan teman-temanku terus bergurau sampai jam istirahat, tapi lain dengan sosok cowok yang ada di sampingku. Dia adalah Rio, sahabatku dari kecil, entah kenapa, sejak tadi dia terus melamun, sampai-sampai dia tidak menghiraukan bel istirahat yang telah berbunyi sejak tadi, “heyy...kamu kenapa? Dari tadi kok ngelamun terrus sih! Lagi ada masalah ya? Kalau ada masalah, cerita aja ama aku, barangkali aku bisa bantu!”, celotehku yang tak di hiraukan oleh Rio, “ya sudah, kalau kamu nggak mau cerita juga nggak papa, kalau gitu aku pergi dulu!”, pamitku. Beberapa saat kemudian saat aku baru berdiri, Rio mulai angkat bicara, “aku lagi punya masalah Vir”, ucap Rio pelan, “masalah apa? Masalah sama cewek kamu?”, tanyaku sambil kembali duduk disamping Rio, “iya!”, jawab Rio singkat, “kamu itu kenapa sih? Masalah gitu aja di pikirin sampai segitunya, yo, aku tau kamu sangat cinta, kamu sangat sayang sama Nena, tapi satu hal yang perlu kamu ingat, kalau apa yang kamu miliki saat ini belum tentu kamu akan memilikinya selamanya. Intinya, kamu boleh sayang sama Nena, tapi jangan sampai berlebihan....!”, ucapku pada Rio, sementara itu Rio hanya mendengarkannya sambil sesekali menganggukkan kepalanya, “tapi Vir, masalahnya aku sekarang ada diantara dua pilihan, dan aku harus memilih salah satunya”, ucap Rio, “pilihan apa?”, tanyaku, “pilihan antara cinta dengan sahabat”, jawab Rio, “maksud kamu?”, tanyaku lagi, “gini lo Vir, aku di suruh Nena milih, antara kamu atau dia, dan aku bingung! Aku harus gimana Vir?”, tanya Rio, “kenapa kamu bingung begini? Jawaban itu ada di hati kecilmu, seharusnya kamu tau itu!”, jawabku. Akupun segera menyusul teman-temanku ke kantin. Beberapa menit kemudian, bel masukpun telah berbunyi, aku dan teman-temanku segera kembali ke kelas. Di dalam kelas aku melihat sikap Rio yang kelihatannya sudah agak baikan dari pada tadi pagi, “gimana yo? Udah ketemu jawabannya?”, tanyaku sambil memberikan makanan ringan kesukaan Rio, “udah dong!”, jawab Rio senang, “terus apa jawabanmu?”, tanyaku lagi, “kepo banget sih!”, canda Rio, “ya udah kalau gitu! Eh yo, kayaknya diantara kita ada yang kurang deh!”, ucapku pada Rio, “tapi apa ya.....emm...Roby!!...yah...Roby kemana ya? Dari tadi pagi aku nggak liat dia di kelas?”, tanyaku pada Rio, “ owh, hari ini dia nggak masuk, aku nggak tau kenapa. Tumben kamu nanyain dia, biasanya kalian kan bertengkar terus!”, ucap Rio, “meskipun aku dan Roby sering bertengkar, tapi diakan sahabat kita juga! Kamu ini gimana sih”, ucapku, “iya juga sih...eh Vir, habis pulang sekolah, main ke rumahku yuk”, ajak Rio, “emm...gimana ya? Next time aja ya!”, godaku, “kok gitu sih..! ayolah Vir!”, bujuk Rio, “ya udah dech, tapi anterin aku pulang dulu! Gimana?”, tanyaku, “siip!!”, jawab Rio cengengesan. Dan ketika bel pulang berbunyi, Rio segera mengantarku pulang untuk ganti baju dan langsung pergi ke rumah Rio. Sesampainya di rumah Rio, aku dan Rio memutuskan untuk mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh bapak dan ibu guru, tidak lama kemudian tiba-tiba handphone Rio bergetar, dan ada panggilan masuk, tanpa melihat ke layar monitor, Rio segera mengangkatnya, dan ternyata itu adalah telfon dari Roby, ketika aku menyuruh Rio untuk meloudspiker handphonnya, dia tidak mau, malahan dia membawa handphonenya ke kamarnya dan melarangku untuk mengikutinya. Aku nggak tau apa yang sedang mereka bicarakan. Beberapa saat setelah Rio ngobrol dengan Roby di telfon, aku memutuskan untuk pulang, “yo, aku pulang duluan ya!”, ucapku, “kok buru-buru sih Vir? Marah ya?”, tanya Rio, “aku nggak marah yo, aku pulang soalnya aku ada acara”, jawabku dengan berbagai alasan, “yaudah kalau gitu, hati-hati di jalan ya!”, ucap Rio. Akupun meninggalkan rumah Rio dan segera pulang. Ketika aku berada dalam kamar, aku mendapat telfon dari nomor yang tak ku kenal, dan si penelfon itu menyuruhku untuk segera pindah rumah. Sudah 3 hari penelfon misterius itu terus menelfonku, dan dia terus mengancamku, bahkan dia selalu menerorku, karena itu semua, aku tak bisa hidup tenang, aku tak bisa bilang ke siapapun, aku memutuskan untuk tutup mulut mengenai masalah ini. Saat di dalam sekolahan, bahkan di dalam kelas, aku merasa ada yang memperhatikanku, akupun menjadi nggak tenang, Rio yang melihat sikapku langsung bertanya padaku, “Vir, kamu ini kenapa sih? Aneh banget!”, tanya Rio, aku hanya tersenyum tipis sambil mengelengkan kepalakaku, akupun bergegas meninggalkan Rio dan segera menuju ruang BK untuk menemui mas Fuad, dia adalah teman kakakku, “mas, lagi repot nggak?”, tanyaku, “nggak, ada apa?”, tanya mas Fuad, “nggak papa kok, Cuma lagi nggak enak badan saja!”, ucapku berbohong, “kenapa sih Vir, kamu harus bohong sama mas Fuad? bukankah kita ini saudara? Sekarang kamu cerita sama aku!”, ucap mas Fuad, “baiklah, aku mau pindah sekolah mas!”, ucapku, “apa? Pindah? Kenapa harus pindah? Sebenarnya ada apa Vir? Kenapa kamu mau pindah? Cerita sama aku!”, jawab mas Fuad, “bukannya aku nggak mau cerita sama mas Fuad, tapi ini terlalu berat untuk ku ceritakan!”, ucapku, “kalau kamu memang nggak mau cerita, baiklah, itu artinya kamu sendiri yang nggak nganggap aku sebagai saudaramu!”, ucap mas Fuad, “huft.... aku di teror mas! Dan peneror itu memintaku untuk pergi dari sini, bukan hanya pergi dari sekolahan tapi dia menyuruhku untuk pergi dari rumahku. Sebenarnya aku nggak mau pergi dari sini, tapi aku harus gimana lagi? Aku nggak mau melihat orang-orang yang aku sayang menjadi korban hanya karena aku nggak mau menuruti permintaan peneror itu!”, jelasku, “kamu yang sabar saja ya! Mungkin ini cobaan buat kamu, terus kalau kamu pindah, kamu mau tinggal dimana?”, tanya mas Fuad, “nggak tau mas, aku masih bingung, mungkin aku akan tinggal bersama papi di Prancis, “papi? Emangnya kamu punya orang tua lagi?”, tanya mas Fuad bingung, “iya, aku punya orang tua di Prancis, meskipun mereka buanlah orang tua kandungku, tapi mereka sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, mas Fuad tenang aja, mereka masih ada hubungan darah kok sama mama, mungkinlebih tepatnya mereka adalah paman dan bibiku yang kini menjadi orang tua angkatku, dan aku minta tolong sama mas Fuad, kalau seandainya ada teman-temanku yang menanyakanku, tolong jangan bilang kalau aku di teror dan aku pindah ke Prancis, aku mohon!!”, pintaku, “baiklah, kalau itu mau kamu, aku akan tutup mulut!”, ucap mas Fuad, “makasih ya mas, kalau begitu aku ke kelas dulu”, ucapku sambil beranjak meninggalkan mas Fuad di ruang BK. Keesokan harinya, kulangkahkan kakiku yang terasa berat menuju sekolah untuk yang terakhir kalinya, air mata yang terus berjatuhan karena tak mampu meninggalkan orang-orang yang ku sayang, segera ku usap air mataku ketika Roby dan Rio menghampiriku, “Vir, tumben banget kamu berangkat sekolah sendiri! Biasanya kan nunggu aku sama Rio?”, tanya Roby, “iya, kamu ini kenapa sih! Dari kemarin, kamu itu aneh banget!”, tambah Rio, “sudahlah nggak usah dibahas, masuk kelas yuk!”, ajakku sambil mengalihkan pembicaraan Rio dan Roby. Di dalam kelas, aku hanya bisa diam sambil sesekali melihat teman-temanku yang bergurau, aku nggak pernah menyangka kalau hari ini adalah hari terakhirku bersama teman-temanku. Beberapa saat kemudian mas Fuad memanggilku, dan menyuruhku untuk menemui pak kepala sekolah di ruangannya. Tanpa banyak pikir, aku segera berjalan menuju kantor kepala sekolah. Setibanya di ruang kepala sekolah, aku melihat pak Dodhy duduk di kursinya, kemudian pak Dodhy mempersilahkan aku dan mas Fuad untuk duduk. Pak Dodhy mengintrogasiku, seakan-akan aku adalah orang yang bersalah, “kenapa kamu harus pindah? Dan apa alasan kamu untuk pindah?”, tanya pak Dodhy, “saya kira bapak sudah tau jawaban dari semua ini, jadi saya nggak perlu menjelaskan panjang lebar tentang semua ini”, jawabku, “baiklah, saya memang sudah tau ini semua dari mas Fuad, dan nanti pihak sekolah akan mengadakan upacara pelepasan buat kamu, dan kami berharap kamu bisa memberi nasehat untuk teman-temanmu”, ucap pak Dodhy. Setelah berbincang-bincang dengan pak Dodhy, upacara pelepasanpun segera dimulai, semua siswa berkumpul di tengah lapangan, akupun segera naik ke atas podium untuk berpamitan dengan teman-temanku, “maafkan aku kawan, ini juga bukan keinginanku, tapi aku harus melakukannya dan ini semua demi kebaikan kita semua!”, ucapku, “kenapa kamu tega ninggalin kita Vir?”, tanya Rio, “maafin aku, aku sayang kalian semua, sekali lagi maafin aku! Aku harus pergi”, ucapku. Ketika aku melangkahkan kakiku untuk meninggalkan sekolahku, tiba-tiba Rio pingsan, aku nggak sanggup melihat sahabatku tergeletak seperti ini, aku dan Roby segera membawa Rio ke UKS, akupun berpesan pada Roby, “by, aku sayang kalian, tapi aku mohon, jangan buat langkahku semakin berat, tolong biarkan aku pergi dan ikhlaskan aku untuk pergi”, ucapku. Akupun segera meninggalkan Rio dan Roby. Isak tangis dari teman-teman dan juga guruku mengiringi kepergianku. 3 tahun kemudian Tak terasa sudah 3 tahun lamanya aku meninggalkan orang-orang yang aku sayang, dan kini aku merindukan mereka semua. Ingin rasanya aku kembali kepada orang-orang yng aku sayang, tapi aku masih takut dengan ancaman yang telah menimpaku 3 tahun silam. Tapi dengan niat yang begitu kuat, aku memutuskan untuk kembali ke tanah airku dan bertemu dengan orang-orang yang selama ini ku rindukan, termasuk kedua sahabatku. 3 tahun sudah aku berada di negeri orang, tempat yang begitu asing bagiku, dan kini mungkin sudah saatnya aku meningalkan tempat asing ini, tempat yang menjadi saksi bisu atas kesuksesan karirku. Dan kini saatnya aku memberi kabar bahagia ini kepada sahabat-sahabatku. Akupun segera bergegas menuju airport, dan tanpa menunggu lama, pesawat yang aku tumpangi segera lepas landas. Setelah beberapa jam berada di dalam pesawat, akhirnya aku sampai di tanah airku, saat aku mencari taksi, tiba-tiba aku menabrak seorang pemuda dan membuat barang-barang pemuda dan barang-barangku jatuh berserakan, “sorry, aku tidak sengaja”, ucapku sambil membereskan barang-barangku yang berjatuhan, sementara itu pemuda itu hanya tersenyum tipis sambil membantuku membereskan barang-barangku. Saat pemuda itu membaca ID card ku, tiba-tiba secara sepontan pemuda itu berkata, “Virda!? Kamu Virdakan?”, tanya pemuda itu, aku terkejut ketika pemuda itu menyebut namaku, “iya, saya Virda, maaf anda siapa?”, tanyaku heran, “ini aku Vir!”, jawab pemuda itu, “tapi maaf, saya tidak mengenali anda”, jawabku sambil beranjak pergi dari hadapan pemuda itu. “Virda tunggu! Apakah kamu sudah lupa denganku?”, tanya pemuda itu yang sempat membuat langkah kakiku berhenti, aku kembali melangkahkan kakiku keluar airport, tiba-tiba pemuda itu berkata, “tidakkah kau mengingatku walau sepintas? Ini aku sahabatmu!”, ucap pemuda itu, ketika aku mendengar kata-kata itu, aku segera membalikkan badanku, “Vir, ini aku Rio Egy Syahputra!”, ucap pemuda itu sambil membuka kaca matanya, dan ketika aku melihat bola matanya, barulah aku sadar, kalau pemuda itu adalah Rio, sahabatku waktu aku SMA, aku segera berlari ke arahnya dan memeluknya. Aku dan Rio segera masuk ke dalam taksi untuk pulang ke kampung halaman, “Rio, kenapa kamu bisa ada di airport?”, tanyaku, “owh...aku baru pulang dari AS, jadi setelah lulus SMA, aku dapat beasiswa ke AS, kalau kamu sendiri darimana?”, tanya Rio balik, “aku dari Prancis, btw gimana kabarnya Robby?”, tanyaku pada Rio, “akhir-akhir ini dia sering sakit-sakitan, aku nggak tau dia sakit apa, karena setiap kali aku tanya tentang sakitnya dia selalu mengalihkan pembicaraannya”, jelas Rio, “baiklah, kalau gitu habis ini anterin aku jenguk Robby ya!”, pintaku, “baiklah”, jawab Rio. Tidak lama kemudian terlintas dalam pikiranku tentang seorang kakak yang selama ini merawatku, yah..dia adalah kak bibi, aku segera mengambil handphoneku dan segera menelfon mas Fuad, “hallo...mas Fuad ini aku Virda, aku mau tanya, kak Bibi dimana?”, ucapku mengawali pembicaraan dengan mas Fuad sahabatnya kak Bibi, “Virda...kamu sudah pulang? Kamu pulang kapan?”, tanya mas Fuad, “ceritanya panjang, kak Bibi dimana mas?”, tanyaku, “owh...kakak kamu lagi di rumah sakit bakti jaya, dia nungguin mama dan papa kamu!”, jelas mas Fuad, “apa? Memangnya mama dan papa kenapamas?”, tanyaku panik, “mama dan papa kamu habis kecelakaan, mendingan sekarang kamu ke rumah sakit!”, pinta mas Fuad, “baik mas, aku pasti kesana, tapi nggak sekarang, tapi aku janji, aku pasti kesana”, ucapku sambil menutup telfonku. “ada apa Vir?”, tanya Rio heran, “mama papa habis kecelakaan yo!”, ucapku, “lalu kita jadi ke rumah Robby apa nggak?”, tanya Rio, aku hanya menganggukkan kepalaku. Sesampainya di depan rumah Robby, aku masih bingung, karena fikiranku tertuju pada tiga orang, antara mama, papa dan Robby. Aku dan Rio memutuskan untuk masuk ke dalam rumah Robby, aku dan Rio begitu terkejut ketika kami melihat sahbat kami yang lemah tak berdaya di atas tempat tidurnya, tak terasa air mataku jatuh menetes membasahi pipiku, sementara itu Robby masih bingung dengan kedatangan 2 sosok yang menjengukya dan meneteskan air mata ketika melihat kondisinya, “maaf kalian siapa?”, tanya Robby, “by, ini aku Virda, dan ini Rio, kamu masih ingat sama kita kan? Kita ini sahabat kamu!”, jelasku. Ketika mendengar perkataanku, aku melihat sebuah senyuman yang sudah lama aku rindukan ada di wajah Robby, “Virda...Rio...aku kangen kalian!”, ucap Robby, saat itu kami bertiga saling bertukar cerita. Saking asyiknya ngobrol, aku sampai lupa kalau aku harus ke rumah sakit, “yo, by, aku pamit dulu ya..! besok aku kesini lagi!”, ucapku, “memangnya kamu mau kemana?”, tanya Robby, “aku mau ke rumah sakit jenguk mama sama papa”, ucapku, “memangnya mama sama papa kamu kenapa?”, tanya Robby, akupun menjelaskan semuanya dan segera beranjak pergi ke rumah sakit. Sesampainya aku di Rumah Sakit, aku segera mencari ruangan mama dan papa dirawat. Ketika ku buka pintu itu, aku melihat 2 orang yang sangat aku sayang lemah tak berdaya dan seseorang yang menunggu mama dan papanya aku menga, sepertinya akukenal dengan orang itu, yah, dia adalah kakakku sendiri, dia kak Bibi, tapi kak Bibi sangat cuek dengan kehadiranku, “kakak kenapa?”, tanyaku pada kak Bibi, belum selesai aku berbicara, tiba-tiba kak Bibi langsung berdiri, “kamu tanya aku kenapa? Jadi kamu nggak tau kesalahan kamu?”, tanya kak Bibi dengan nada sinis, sementara itu aku hanya diam, “kamu dimana saat mama dan papa kecelakaan? Kamu dimana saat mama dan papa benar-benar membutuhkan kamu? Kamu nggak pernah ada, apa itu yang dinamakan anak?”, tanya kak Bibi dengan keadaan marah sama aku, “kak..”, ucpanku terputus ketika sebuah tamparan mendarat di pipiku, “kakak..!!! jika permintaan maafku nggak bisa mengobati semuanya, lantas apakah tamparan kakak juga bisa mengobati semuanya? Kalau memang iya, silahkan kak! Tampar aku, tampar sampai kakak puas!”, ucapku dengan berlinangan air mata, “kak selama ini Virda sudah berusaha menyelamatkan mama dan papa, tapi tuhan berkata lain!”, jelasku, “halahh….alasan! selama ini kamu hanya mencari kesenangan kamu sendiri, sampai kamu lupa dengan orang tua dan juga keluarga, sekarang aku minta kamu keluar dari sini, cepat!”, ucap kak Bibi sambil menyeretku keluar ruangan, “mulai saat ini, jangan pernah kamu panggil aku kakak lagi, karena nggak sudi punya adik seperti kamu!”, ucap kak Bibi sambil menutup pintu Rumah Sakit, sebelum kak Bibi menyeretku keluar kamar, ternyata Rio dan Roby sudah ada di depan pintu dari tadi dan secara otomatis mereka telah mendengarkan pembicaraanku dengan kak Bibi tadi. Saat kak Bibi menutup pintu kamar, Rio dan Robby hanya bisa diam seribu bahasa, mereka tidak bisa berkata sepatah katapun, aku tau mungkin mereka berdua panik melihat pertengkaran hebat antara aku dan kak Bibi. Beberapa saat kemudian, barulah Robby angkat bicara, “Vir, sebaiknya kita pergi dulu, mungkin dengan begitu kak Bibi bisa sedikit tenang dan emosinya mereda!”, bujuk Robby, “tapi aku masih khawatir dengan kondisi mama dan papa, aku masih sayang sama mereka!”, ucapku dengan linangn air mata, “iya, kami ngerti, tapi kelakuan kak Bibi sudah kelewatan Vir, nggak sepantasnya dia memperlakukan kamu seperti itu”, tambah Rio. Setelah mendengar nasehat dari Rio dan Robby, akupun memutuskan untuk pulang, “baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, mungkin kehadiranku disini hanya akan memancing amarah kak Bibi dan sebaiknya aku pergi saja!. Sesampainya di rumah, hanya tangisan dan air mata yang mampu mengungkapkan rasa sedih dalam hatiku, kakek yang melihatku terus menangis menjadi bingung, “Virda, kamu kenapa sayang? Kok nangis?”, tanya kakek, akupun mengusap air mataku dan berusaha menjadi seseorang yang tegar di mata kakek, walaupun hatiku menangis, “kek, Virda mau tanya sama kakek, kenapa sifat kak Bibi jadi berubah seperti ini? Kenapa kak Bibi menjadi pemarah dan mengatakan kalau aku ini anak yang durhaka?, sebenarnya apa yang terjadi selama Virda nggak ada kek?”, tanyaku panjang lebar pada kakek, setelah mendengar pertanyaanku, mata kakek menjadi sayup, “sebenarnya mama dan papamu sengaja di tabrak oleh seseorang, tapi sampai sekarang nggak ada satu orangpun yang tau siapa orang itu”, jelas kakek, “jangan-jangan orang yang sengaja menabrak mama dan papa adalah orang yang telah menerorku selama ini? Bukankah aku sudah menuruti semua keinginan peneror itu?”, ucapku dalam hati, “Virda!!! Kamu kenapa lagi? Nggak baik loh kalau terus-terusan melamun!’, ucap kakek yang membuyarkan fikiran anehku tentang siapa penabrak mama dan papa. Tidak lama kemudian, telfon rumah brdering, akupun segera berjalan kearah telfon itu dan mengngkatnya, “hallo…”, ucap penelfon itu, “iya hallo, Virda ini mami sayang”, ucap penelfon itu yang ternyata adalah mami, beliau adalah orang yang sangat berjasa buatku ketika aku berada di Prancis dulu, “mami… ada apa mi?”, tanyaku heran, karena nggak biasanya mami menelfonku, “mami boleh minta sesuatu sama kamu?”, ucap mami, “apa mi?”, tanyaku, “mami minta tolong sama kamu, segeralah berangkat kesini, karena papi kamu sedang sakit, dia terus-terusan memanggil nama kamu, mami mohon sayang! Untuak kali ini saja!”, ucap mami, “waduh,gimana ya mi…masalahnya mama dan papa Virda saat ini masih dalam keadaan koma di rumah sakit, dan Virda nggak bisa ninggalin mereka!”, jelasku, “mami mohon sayang! Kali ini saja!”, ucap mami sambil terus menangis, “hem…baiklah kalau gitu, lusa Virda berangkat”, ucapku mengakhiri pembicaraan itu. Ketika aku meletakkan ganggang telfon itu, aku mendengar suara tepuk tangan di belakangku, dan ketika aku menengoknya, ternyata yang tepuk tangan itu adalah kak Bibi, “bagus…bagus banget, yaudah pergi sana, temui mami papi kamu, dasar anak nggak tau diri, udah tau kedua orang tuanya koma, tapi malah pergi ke orang yang sudah jelas bukan orang tuanya, yaudah, pergi sana, kalau bisa jangan pernah kamu kembali lagi!”, ucap kak Bibi sambil pergi dari hadapanku, “semoga ini adalah jalan yang terbaik, mungkin apa yang dikatakan kak Bibi itu semua benar, lebih baik aku pergi”, ucapku dalam hati. Akupun menulis sebuah surat yang sengaja ku tulis untuk semua orang termasuk kak Bibi dan kedua sahabatku. Dear kakakku dan sahabat-sahabatku Maafin aku, kalau kepergianku ini terlalu mendadak, tapi mungkin apa yang dikatakan kakak benar, lebih baik aku pergi dari kehidupan kalian semua. Aku Cuma berpesan sama kalian, jaga diri kalian baik-baik dan aku titip mama dan papa Salam sayang Virda Usai menulis surat itu, akupun menitipkannya kepada kakek, “kek, Virda titip surat ini, salam buat semuanya dan Virda minta tolong, jagain mama dan papa, Virda pamit dulu”, ucapku sambil bergegas pergi meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan itu. Kini aku telah pergi tanpa sepengetahuan kakakku dan kedua sahabatku. Tidak lama setelah kepergianku, kedua sahabatku datang ke rumahku, dan saat itu mereka tidak mengetahui tentang kepergianku, “Virdaa…kita makan bareng yuk! Aku bawain martabak kesukaan kamu nih!”, ucap Roby. Tidak lama kemudian kakek keluar dari kamarnya dengan membawa sepucuk surat dariku, “eh kalian… pasti cari Virda ya!”, tanya kakek, “iya kek, Virda mana ya? Kok nggak kelihatan?”, tanya Rio, “Virda baru saja berangkat ke Perancis, papinya sakit keras”, jelas kakek, “apa? Ke Perancis lagi?”, ucap Roby, “iya, sebenarnya Virda berat meninggalkan mama dan papanya, tapi keadaan yang memaksanya untuk pergi, kasihan Virda kalau setiap hari harus dimarahi sama kakaknya, mungkin Virda stress mikirin omongan kakaknya, jadi dia mutusin untuk pergi ke Perancis, oiya, sebelum Virda pergi tadi, dia sempat nitipin surat ini sama kakek!”, ucap kakek sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Rio dan Roby. Roby dan Rio segera mengambil surat itu dan membacanya. Entah kenapa usai membaca surat itu, Roby tampak kesal hingga ia memukulkan tangannya ke tembok hingga berdarah, “cukup by…cukup…percuma kamu menyakiti diri kau sendiri, karena itu semua tidak bisa buat Virda kembali lagi, sebaiknya kita ke rumah sakit!”, ajak Rio. Akhirnya mereka berdua berangkat ke ruamah sakit, Roby nggak peduli dengan luka yang ada di tangannya. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, entah kenapa Roby menjadi aneh, omongannya menjadi ngelantur, “apa mungkin kita akan kehilangan Virda untuk yang kedua kalinya?”, tanya Roby pada Rio, “kamu kok ngomong gitu? Tapi apa yang kamu katakan itu benar, kita telah kehilangan Virda untuk yang kedua kalinya”, ucap Rio. Setelah sampai di rumah sakit, Roby dan Rio segera masuk ke kamar inap mama dan papa, “ngapain kalian kesini? Mau cari masalah?”, ucap kak Bibi, “nggak kak, kami datang kesini Cuma mau kasih tau kak Bibi kalau Virda sudah pergi ke Perancis”, jelas Rio, “emangnya apa urusanku? biarkan saja dia pergi, syukur-syukur kalau dia tidak akan kembali lagi”, ucap kak Bibi, “tapi kak, bagaimanapun juga, Virda itu adik kakak, adik kandung kakak! Kakak nggak pantas bicara seperti itu! Perlu kakak ketahui bahwa orang yang menyayangi kakak kini berada di antara dua pilihan, dua pilihan yang sangat sulit, antara mama papanya dan juga antara mami papinya, coba kakak bayangkan, bagaimana perasaan kakak jika kakak berada di posisi Virda, apa yang akan kakak lakukan?”, jelas Roby. Mendengar penjelasan dari Roby, tiba-tiba suasana menjadi hening seketika, “ya Allah…apa yang telah aku perbuat pada adikku sendiri?”, ucap kak Bibi yang penuh dengan penyesalan, “sudah nggak ada gunanya lagi kakak menangis menyesal seperti ini, karena Virda sudah nggak ada disini lagi!”, ucap Rio, “lalu, apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku?”, tanya kak Bibi pada Rio dan Roby. Beberapa saat kemudian handphone kak Bibi berdering, tapi kak Bibi nggak mau mengangkat telfon itu, “kenapa nggak diangkat telfonnya?”, tanya Rio, “ini nggak penting!”, jawab kak Bibi. Setelah terdiam cukup lama, tiba-tiba handphone Rio berdering, dia mendapat telfon dari nomor yang tak dikenal, iapun meminta izin kepada kak Bibi untuk keluar mengangkat telfonnya, “hallo, Rio, ini aku Virda”, ucapku, “Virda, ya Allah..kenapa kamu pergi nggak bilang-bilang dulu sama aku atau Roby?”, tanya Rio, “ceritanya panjang yo”, jawabku, “oiya, gimana kabar kamu? Kamu baik-baik sajakan?”, tanya Rio memastikan, “iya, aku baik-baik aja, tapi…”, omonganku terputus saat itu juga, “tapi kenapa Vir?”, tanya Rio, “papi udah nggak ada lagi, tadi waktu aku sampai di rumah, ternyata papi udah nggak ada”, jelasku dengan nada yang sedih, “kami semua turut berduka ya Vir, kamu yang sabar aja ya! Mungkin ini cobaan buat kamu!”, ucap Rio, tidak lama kemudian telfon terputus. Beberapa saat kemudian kak Bibi dan Roby keluar menyusul Rio, “telfon dari siapa yo?”, tanya kak Bibi, “emm…dari Virda kak!”, jawab Rio dengan nada yang sedikit gugup, “apa? Dari Virda? Dia bicara apa?”, tanya kak Bibi, “tadi Virda Cuma ngabari aku kalau papinya sudah nggak ad sebelum dia sampai di rumah”, jelas Rio, “ya Allah, cobaan apalagi yang kau berikan kepada adikku ya Allah, kuatkan adikku!”, ucap kak Bibi, “kaka tenang aja, aku yakin Virda pasti kuat, diakan orang yang kuat!”, ucap Roby. Beberapa hari terakhir setelah kepergian papi, kini aku menjadi lemah, aku sering sakit. Mungkin ini dikarenakan aku yang belum siap menerima semua kenyataan ini. Mami telah berusaha mengobatiku sampai ke negri singa, tapi penyakitku tak kunjung sembuh. Aku nggak tau sebenarnya aku ini sakit apa? Aku hanya berharap semoga dengan sakitku ini, aku semakin kuat dalam menghadapi cobaan hidup ini. Uaha mami untuk menyembuhkanku tak berhenti sampai disini. Ketika mendengar dari temannya bahwa di Filiphina ada seorang tabib yang menyembuhkan segala penyakit, akhirnya mami memutuskan untuk membawaku pergi ke Filiphina untuk menemui tabib itu. Dan alhasil, setelah menjalani pengobatan dengan seorang tabib yang ada di Filiphina, perlahan kondisiku mulai membaik, kini aku yang awalnya hanya bisa terbaring lemah tak berdaya di atas tempat tidur, kini aku telah mengalami kemajuan, aku sudah bisa duduk. Aku bahagia dengan perkembangan kesehatanku ini, tapi disisi lain aku sangat sedih, karena aku tidak bisa memberi tahu keluargaku yang ada di Indinesia tentang penyakitku ini. Aku terpaksa menutupinya dari keluargaku dan juga kedua sahabatku, aku nggak mau beban kak Bibi bertambah, aku nggak mau mereka cemas dengan kondisiku saat ini. Kini aku lelah karena harus sembunyi dari kenyataan, aku lelah jika aku harus menghadapi penyakit ini tanpa support dan dukungan dari sahabat-sahabatku. Kini aku memutuskan untuk memberi tahu sahabatku tentang apa yang tengah kuderita saat ini, segera ku ambil handphoneku dan ku kirim pesan pada Roby dan Rio. Dear : my Friends Maafin aku kalau aku harus mengabari kalian berdua melalui pesan singkat ini. Karena aku nggak sanggup jika aku harus mengatakan secara langsung kepada kalian. Jujur, keadaanku untuk saat ini kurang sehat, aku sakit, aku minta doa dari kalian supaya Allah segera mengangkat penyakitku ini, aku masih belum bisa untuk saat ini. Tapi aku minta satu hal sama kalian, tolong jangan kasih tau kak Bibi ataupun yang lainnya kalau aku sakit, ak nggak mau buat mereka cemas. Salam sayang Virda Setelah ku kirim pesan itu, barulah aku mrasa tenang, aku berharap tidak ada satu orangpun yang memberi tahu tentang penyakitku ini kepada keluargaku. Rio yang merupakan tipe orang yang tidak bisa menjaga rahasia dengan baik memutuskan untuk memberi tahu kak Bibi. Saat itu, sehari setelah surat dari Virda sampai, Rio memutuskan untuk langsung pergi ke rumah sakit untuk menemui kak Bibi. Sesampainya di rumah sakit, Rio sama sekali tidak melihat kak Bibi di ruangan mama dan papa, “sus, numpang tanya, cowok yang biasanya menjaga kamar ini ukemana ya?”, tanya Rio pada salah satu suster yang saat itu sedang memeriksa keadaan mama dan papa, “oh, tadi cowok itu pamit keluar sebentar! Katanya sih ada jadwal manggung, makanya saya disuruh menjaga mama dan papanya disini”, jawab suster itu. Beberapa saat kemudian aku mengirim pesan kepada Rio untuk segera menuju ke bandara, karena saat itu aku sudah ada di bandara, aku kangen semua yang ada disini. Rio terlihat begitu shock ketika membaca pesanku, ia mengira kalau aku tau bahwa ia akan menceritakan keadaanku pada kak Bibi. Tanpa berpikir panjang, Rio segera berangkat ke bandara untuk menjemputku dan membawaku pulang. Di dalam mobil, Rio menceritakan tentang kekhilafan kak Bibi, “Vir, kamu kok ngelamun sih? Jadi dri tadi aku bicara sendiri?”, tanya Rio, “iya maaf”, ucapku, “kamu kok gitu sih? Seharusnya kamu bahagia dengan perubahan kak Bibi,”, ucap Rio. Mendengar ucapan Rio, aku hanya bisa diam seribu kata, “dulu aku dan kak Bibi begitu akrab, bahkan kami nggak pernah bertengkar, apakah aku bisa memaafkan kesalahan kak Bibi?”, ucapku dalam hati, “Vir, kamu ini ngelamunin siapa sih? Ooo…aku tau, pasti kamu lagi ngelamunin aku ya!”, canda Rio, “idih…GR banget sih!”, jawabku cuek, “oiya Vir, aku baru ingat, kamu tau nggak, selama kamu ada di Perancis kak Bibi kan sering manggung, dan di setiap kali dia manggung, dia pasti nyanyi lagunya Wali yang judulnya Adinda itu loh, dan lagu itu dia nyanyikan spesial buat kamu, ya…walaupun kamu nggak tau!”, jelas Rio, “terus sekarang kak Bibi dimana?”, tanyaku, “owh sekarang kak Bibi lagi ada di Bandung, dia lagi manggung disana”, jawab Roy, “kalau gitu, anterin aku ke tempatnya kak Bibi. Aku dan Roy segera menuju ke Bandung untuk menemui kak Bibi. Sesampainya di tempat konsernya kak Bibi, teryata apa yang dikatakan Rio itu benar. Saat itu, kak Bibi lagi nyanyi lagunya Wali yang berjudul Adinda.dan ketika lagu itu selesai, aku segera menemui kak Bibi dan meminta maaf atas perlakuanku selama ini. Ku kira kak Bibi nggak mau memaafkanku, ternyata apa yang aku fikirkan itu salah. Kak Bibi mau memaafkanku dan kembali memelukku. Pelukan hangat inilah yang sangat aku rindukan setelah sekian lamanya kak Bibi membiarkanku dan tak memperdulikanku. Meskipun aku harus menahan sakit, tapi aku ikhlas, asalkan semua kebahagianku kembali seperti dulu. Tapi apa yang aku harapkan tidak semuanya bisa menjadi kenyataan. Saat kak Bibi memelukku, itulah saat terakhirku bersama kakakku dan sahabatku Rio, karena saat itu penyakitku kambuh dan aku sudah nggak bisa tertolong lagi, mungkin ini yang terbaik. Selamat tinggal kakak, maafkan jika selama ini aku selalu membuatmu marah hingga membuatmu membenciku, tapi kini aku sadar bahwa kemarahanmu itu adalah tanda kasih sayangmu kepadaku. Ikhlaskan aku, karena aku yakin bahwa aku akan bersama orang-orang yang baik yang telah mendahuluiku. Kini yang kubutuhkan hanyalah doa, doa yang tulus dari seorang kakak dan sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar