Senin, 23 November 2015

KEPUTUSAN TERBAIK

KEPUTUSAN TERBAIK Masih terngiang dibenakku tentang keputusan dokter Fuad tadi pagi, dokter yang telah menanganiku selama 8 tahun ini, dimana keputusan itu semakin membuat hati ini menjadi tak tenang, yah pemasangan alat pacu jantung, aku harus melakukannya. Tapi untuk saat ini, keluargaku tidak sanggup untuk membiayai operasi pemasangan alat pacu jantung tersebut, higga akhirnya ayah harus mengambil jalan pintas untuk mengirimku ke Magetan, disana aku harus tinggal bersama om Tio dan tante Menis. Mereka berdua adalah keluarga yang sangat kaya, tapi Allah belum mengizinkan mereka untuk mempunyai anak. Dan keputusan ayah untuk mengirimku ke om Tio tidak lain adalah demi kesehatanku. Semua orang yang sakit pasti menginginkan suatu kesembuhan, begitu pula aku. Aku juga ingin sembuh, aku ingin menjadi gadis remaja yang lincah dan aktif seperti gadis remaja yang lainnya. Usai pemeriksaan di Rumah Sakit, aku segera berangkat menuju ke kampus, meski perasaanku campur aduk, aku harus tetap kuliah demi masa depanku kelak. Senang rasanya bisa melihat teman-temanku tersenyum bahagia, tapi apakah aku bisa tersenyum sementara hati ini menangis karena keputusan ayah. Disini aku tidak menyalahkan ayah, aku juga nggak menyalahkan om Tio, karena dalam posisi ini tidak ada yang salah. Aku tau, ayah pasti menginginkan yang terbaik untukku, mungkin ayah kasihan melihatku yang harus dihantui rasa sakit setiap hari, hingga ayah mengambil keputusan itu. Dengan tatapan kosong aku melihat dosenku, sementara itu pikiranku melayang tak karuan, sepertinya memori otakku telah merekam keputusan ayah dan dokter Fuad, hingga tanpa kusadari, air mataku jatuh membasahi pipi. Segera ku seka air mataku, dan kembali menatap papan tulis dengan tatapan kosong, “ya Allah, jika memang ini adalah yang terbaik bagiku, maka berikanlah aku ketegaran, berikanlah keikhlasan pada ayah dan bunda, dan jika ini bukanlah yang terbaik untukku, maka kuatkan aku serta keluargaku”, ucapku dalam hati. Beberapa hari setelah keputusan itu, bunda jatuh sakit karena terlalu memikirkan keadaanku, hingga membuat bunda harus dirawat di Rumah Sakit Bakti Husada. Sudah 2 hari aku menyimpan rahasia ini dari ketiga sahabatku yaitu Indah, Farel, dan Tiar. Perlahan tapi pasti, mereka mengerti bahwa aku telah menyembunyikan sesuatu dari mereka, hingga pada akhirnya mereka mengajakku ke serambi masjid yang kebetulan dekat dengan ruang kelasku, “Nadia, apa kamu bisa ikut kita sebentar?”, Tanya Indah, “mau kemana Ndah?”, tanyaku, dan tanpa banyak basa-basi, Indah dan kedua sahabatku mengajakku ke serambi, “ada apa? Kenapa sikap kalian aneh seperti ini? Apa ada yang salah sama aku?”, tanyaku, “Nad, disini kita nggak tau apa yang ada dalam hati kamu, tapi kita bisa membaca semuanya dari tatapan mata kamu, sekarang aku mau tanya sama kamu, dan aku harap kamu bisa jujur sama kita, apa kamu punya masalah?”, Tanya Tiar, “kalian ini apa-apaan sih, aku baik-baik saja, aku nggk ada masalah, jangan ngaco deh!”, jawabku mengelak, “kamu sama diri kamu sendiri aja nggak mau jujur, apalagi sama kita? Ayolah Nad, jujur aja napa sih!”, ucap Farel, “aku nggak papa, aku nggak ada masalah apapun!”, ucapku dengan menahan tangis, “menangislah, menangislah sampai kamu lega, kita disini akan berusaha untuk membantu kamu!”, ucap Indah. Saat itu juga aku menumpahkan air mataku yang terpendam selama 2 hari ini, setelah aku sedikit tenang aku mulai menceritakan semuanya, dan aku melihat kesedihan di mata mereka, “aku harus ke Magetan untuk operasi pemasangan alat pacu jantung, tapi disisi lain, bunda sakit dan sampai saat ini masih belum ada perkembangan, aku bingung harus bagaimana? Ayah sudah mengizinkanku untuk pergi, tapi aku masih belum mendapatkan restu dari bunda, berat bagiku untuk meninggalkan bunda, ayah, keluarga, serta kalian semua”, jelasku, “kalau itu semua demi kebaikan kamu, insya Allah kita ikhlas, sudah jangan nangis lagi, masuk kelas yuk!”, ajak Tiar. Kami berempat segera masuk kelas karena dosennya sudah datang. Pagi yang indah dengan dihiasi kicauan burung-burung, dan sepertinya mereka mengerti dengan apa yang aku rasakan saat ini, sedih, kesal, khawatir dan rasa takut terpisahkan dengan orang-orang yang aku sayang membuat hati ini semakin ingin menangis. Sampai detik ini aku masih belum memberi kabar tentang kepergianku pada Devan yang biasa aku panggil Cipp, dia adalah orang yang aku cintai, berat rasanya jika bercerita padanya. Saat aku berangkat ke kampus, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang sudah taka sing lagi bagiku, yah itu adalah suara Devan, “Nad, mau kemana sih buru-buru amat?”, Tanya Devan, “emm..aku mau ke kelas, soalnya ada kuliah pagi”, jawabku mencari alasan, “kamu pasti bohong, kalau memang ada kuliah pagi, kenapa teman-temanmu malah nongkrong di kantin?”, Tanya Devan, “ada apa sih?”, tambah Devan, sambil menghela nafas panjang, akupun memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Devan, dia terlihat bagitu shok setelah mendengar penjelasanku, “emangnya harus ya Mon ke Magetan?terus kamu ninggalin aku?”, tanyanya dengan nada sedih, “sebenarnya aku juga nggak mau Cipp, tapi mau gimana lagi, aku nggak bisa membantah omongan ayah!”, jelasku, saat itu juga dia memelukku dengan linangan air mata di pelupuk matanya, “jangan sedih Cipp, memeskipun nantinya aku pergi, tapi hati aku tetap sama kamu kok”, ucapku berusaha menghibur Devan, “jangan tinggalin aku Mon, aku mohon!”, ucap Devan, “aku harus tetap pergi Cipp!”, jawabku, “kalau kamu pergi, bagaimana dengan bunda yang sampai saat ini belum sadarkan diri? Apa kamu tega ninggalin bunda?”, Tanya Devan, “sebenarnya aku nggak bisa, tapi aku harus gimana? Untuk saat ini aku masih menungu perkembangan bunda sampai besok, kalau besok bunda masih belum ada perkembangan, aku nggak bakal pergi, tapi kalau besok bunda mulai ada kemajuan, maka aku harus pergi”, jelasku, “kalau begitu nanti pulang kuliah, aku ikut kamu ke Rumah Sakit, aku mau nemenin kamu jaga bunda kamu”, ucap Devan. Setelah mata kuliah selesai, aku melihat Devan telah menungguku di depan kelas, “aku duluan ya!”, pamitku pada teman-temanku dan segera pergi ke Rumah Sakit. Hari telah berganti, tapi masih belum ada perkembangan dengan kondisi bunda, saat itu aku melihat Devan dengan 2 bungkus nasi, “Mon, makan dulu ya, biar gak sakit!”, ucap Devan, “makasih ya Cipp..”, ucapku. Beberapa saat kemudian setelah selesai makan, aku melihat om Tio yang sedang berbiara dengan ayah, dan ternyata pada saat itu, ayah, om Tio dan aku sepakat untuk mengcancel pemberangkatanku ke Magetan, aku melihat kebahagiaan dimata Devan. Akupun segera mengambil ponselku dan mengabari berita baik ini kepada sahabat-sahabatku. mereka terlihat bahagia mendengar berita itu. Tuhan tidak akan menjauhkan umatnya dari orang-orang yang menyayanginya. Hidup ini kamu yang menjalani, kamu adalah penulis kisah hidupmu. Jangan biarkan orang lain yang menentukannya. By : Emmon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar